Archives

Seorang Pejuang Kesenian yang Getir dan Sepi

Oleh: Denny Prabowo



: biografi Trisno Sumardjo

(1916—1969)


Sebuah buku usang di atas meja kantorku, Kata Hati dan Perbuatan (Balai Pustaka, 1952). Aku hampir tak pernah membacanya, kecuali sekadar membolak-balik halaman demi halamannya yang kertasnya tak lagi putih. Sampai aku membaca artikel “Surrealisme” yang ditulis oleh H.B. Jassin (1953: 22). Ia menyebut salah satu dramamu dalam buku usang di atas meja kantorku. “Tumbang” judul karanganmu itu, yang oleh Jassin disebut drama bergenre surealisme. Aku membuka-buka buku usang itu, mencari drama yang dimaksud. Lalu membacanya. Ah, aku seperti merasakan kegelisahanmu. Kegelisahan seorang pengarang bernama Trisno Sumardjono yang dilahirkan di Tarik, Surabaya, 6 Desember 1916. Ayahmu bernama Mohammad As’ari, seorang guru bantu. Ia menyekolahkanmu di MULO hingga tamat pada tahun 1933-an. Kemudian kau melanjutkan ke AMS II (Barat Klasik) di Yogyakarta.

Setamat dari AMS. Kauikuti jejak ayahmu menjadi guru partikelir di kota Jember, Jawa Timur (1938—1942). Ketika Tentara Jepang menduduki Pulau Jawa, kau hijrah ke Madiun untuk bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api (1942—1946). Di kota penghasil brem inilah kau mulai tertarik dengan dunia sastra, seperti yang tertuang dalam drmamu, “Dokter Kambudja”. Namun, di awal kemerdekaan (1947), kautinggalkan pekerjaan yang membuatmu merasa terbebani, selain karena bukan bidang yang kaugemari, juga karena sikap tentara Jepang yang kejam. Lalu kautinggalkan Madiun, kautinggalkan seorang gadis yang kelak akan menjadi pendamping hidupmu. Kota Solo menjadi persinggahanmu yang berikutnya. Di kota pusat kebudayaan inilah kau bertemu dengan teman-teman seniman, lalu mendirikan majalah Seniman. Selama kurang rentang tahun 1947—1948 kau menjadi redaktur di majalah tersebut. Namun, Solo tak mampu menampung luapan kreativitas kesenianmu. Awal tahun 1950 kauputuskan untuk hijrah ke Jakarta, ibukota negara yang mulai berbenah diri sehabis revolusi fisik. Di Jakarta kau memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris redaksi di majalah kebudayaan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun yang sama di bulan Juli, kau dipercaya sebagai Sekretaris Lembaga Kebudayaan. Setahun kemudian kau menikahi gadis pujaanmu di kota Madiun, Sukartinah.

Kalau ada keberuntungan di dalam hidupmu, mungkin karena gadis kelahiran Surabaya 23 Juni 1924 bernama Sukartinah, yang kaunikahi pada 18 Maret 1951. Pendamping hidup yang memberimu dua orang putra bernama Lestari (1955) dan Budi Santoso (1956).

Prinsip kesenian bukanlah alat mengejar materi ternampak dari kehidupan rumah tanggamu yang sederhana. Beruntunglah dirimu memiliki pendamping hidup yang begitu memahami dan menerima pribadimu yang keras memegang prinsip-prinsip hidup. Begitu kerasnya hingga sering menimbulkan kesan kaku di antara teman-temanmu.

Selepas dari pekerjaanmu di majalah Indonesia tahun 1952, kau mendapat beasiswa visitorship rockefeller. Selama enam bulan kau mengunjungi Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pernah pula kau bekerja sebagai redaktur majalah Seni di tahun 1954. Di tahun itu pulalah istrimu mengandung, kemudian melahirkan seorang putri yang kaunamai Lestari pada 15 April 1955. Ketegangan yang kau rasakan selama proses kelahiran putrimu sungguh memukaumu, sebuah cerpen pun lahir dari tanganmu yang terhimpun dalam buku Rumah Raya (1957). Setahun kemudian, di tanggal 15 Juni 1956, putra keduamu yang kauberinama Budi Santoso, hadir kedunia. Dan dari kelahirannya, lahir pula cerpenmu yang kaujuduli, “Asran”. Di tahun kelahiran putramu itu, kau dipercaya sebagai Sekretaris Umumu Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN).

Kurang lebih setahun setelah putra keduamu lahir, 1957, kaukunjungi Negeri Tiongkok sebagai ketua delegasi sastrawan Indonesia dalam studi sastra banding. Tahun 1961 State Departement USA mengundangmu ke Amerika. Di tahun yang sama, sebagai seorang pelukis, kau menggelar pameran tunggal.

September 1963, tepatnya di tanggal 17 Agustus, bersama teman-teman seniman yang sepemikiran denganmu, kau turut mencetuskan Manifestasi Kebudayaan. Gerakan kebudayaan yang membuatmu harus berkonfrontasi dengan orang-orang Lekra. Pada tanggal 18 Mei 1964, Presiden Soekarno yang secara ideologis dekat dengan Lekra menyatakan gerakan Manifestasi Kebudayaan sebagai gerakan yang terlarang. Kalian bahkan tak dibolehkan menulis di media baik yang beredar di ibukota maupun di daerah. Sampai Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, pelarangan itu pun dicabut. Dan situasi berbalik bagi anggota-anggota Lekra.

Meski dilarang menulis di surat kabar, pada tahun 1964, kau menjadi pimpinan umum Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia di jakarta. Puncak perjuanganmu di bidang keseniaan adalah berdirinya Taman Ismail Marzuki. Kau tercatat sebagai perintis utama.

Saat kau bekerja sebagai redaktur di majalah Gaya (1968), tepatnya di tanggal 19 Juni, atas jasamu merintis Taman Ismail Marzuki (TIM), Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Ali Sadikin, mempercayaimu sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus terpilih sebagai Ketua Badan Pengurus Harian, hingga ajal menjemputmu di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, 21April 1969, karena serangan jantung. Kau tak mewariskan selain rumah dinas di kompleks TIM kepada istri dan kedua anakmu.

Taufiq Ismail dalam “Catatan Kebudayaan” di majalah Horison Nomor 6 tahun ke-IV, Juni 1969 menulis: Kesenimanan Trisno Sumardjo di dalam bidang penulisan karya sastra, pelukis, atau seni rupa, penerjemahan, pemikir kebudayaan, dan pejuang kesenian Indonesia yang gigih bertahan dan keras hati, serta seorang pejuang yang getir dan sepi.

Namun, melalui kegigihan serta kegetiranmu, kau wariskan pada kami pusat kesenian TIM dan karya-karyamu yang salah satunya ada di atas meja kerjaku saat ini, Kata Hati dan Perbuatan (Balai Pustaka, 1952). Di ujung pembacaan buku tersebut, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang teramat kepada dirimu. Kerinduan seorang penulis muda kepada pejuang kesenian yang gigih dan getir.

Karinduan itu mengusik keinginanku untuk berburu karya-karyamu yang lain seperti Silhuet (Yayasan UNIK, 1952, kumpulan puisi), Rumah Raya (Pembangunan, 1957, kumcer), Daun Kering (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Penghuni Pohon (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Keranda Ibu (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Wajah-Wajah yang Berubah (Balai Pustaka, 1968, kumcer), Cinta Teruna (Balai Pustaka, 1953, drama), Saudagar Venezia (Pembangunan, 1950, terjemaham karya Shakespears), Hamlet (Pembangunan, 1950, terjemaham karya Shakespears), Machbeth (Pembangunan, 1052, terjemaham karya Shakespears), Manasuka (Balai Pustaka, 1952, terjemaham karya Shakespears), Prahara (Balai Pustaka, 1952, terjemaham karya Shakespears), Impian di Tengah Musim (Balai Pustaka, 1953, terjemaham karya Shakespears), Dongeng-Dongeng Perumpamaan (Balai Pustaka, 1959, terjemahan karya Jean de La Fountain), Dokter Zhivago (Djambatan, 1960, terjemahan karya Boris Pasternak), Romeo dan Juliet (BMKN, 1955 cet.2 Oxford University Press, 1960, terjemaham karya Shakespears), Maut dan Misteri (Djambatan, 1969, terjemaham karya Edgar Allan Poe).

Daftar Bacaan

Sumardjo, Trisno. 1952. Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka

Jassin, H.B. 1953. Tifa Penjair dan Daerahnja. Jakarta: Gunung Agung

Dr. Suroso, M.Th dan Drs. Puji Santosa, M.Hum. 2009. Estetika Sastra, sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton Publishing

Rustapa, Anita K., Agus Sri danardani, Bambang Trisman. 1997. Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Drama Klasik) Tumbang

Oleh: Trisno Sumardjo

Pelaku-pelaku:

Seorang laki-laki, dan perempuan tua dan muda, seorang anak perempuan, dan dua tetangga LELAKI.

SUSUNAN PANGGUNG: Sebuah bilik bambu yang tua dan kotor. Pintu masuk hanya ada di sebelah kanan belakang, membuka pemandangan ke tanah tandus di luar. Seantero ruangan dilingkungi tiga dinding bambu yang atas dan kehitam-hitaman warnanya.

Sebelah kanan berdiri meja-makan beserta dua kursi, semuanya sudah rusak. Di atas meja ada piring, botol, kendi, pisau, dan sendok secara tidak teratur. Sebuah cangkir terletak tergelimpang pada sisinya:

Sebelah kiri tengah ada bale-bale, sudah tua juga, dengan bantal kotor dan selimut usang yang menggelebar ke bawah, sampai ujungnya menjentuh lantai.

Di dinding belakang tergantung tiga lukisan, tidak berpigura. Pada yang pertama tergambar alam benda, terdiri dari tengkorak besar dan buku-buku serta pot bunga. Pada yang kedua terlukis potret seorang laki-laki dengan muka yang menakutkan, berwarna hitam dan merah, dahsyat dan berkesehatan. Ia berpakaian baju semacam baju cina serta sarung pelekat, kelihatan sampai dekat ke bawah ikat pinggangnya. Yang ketiga menggambarkan seorang perempuan, kira-kira 27 tahun umurnya, layu sedikit, tapi masih ada kesan-kesannya bahwa pernah cantik rupanya. Di dinding kiri ada kaca kecil.

Hari senja. Udara dalam bilik taram-temaran; selanjutnya dipakai lampu sorot guna menerangi air muka pelaku-pelaku.

Waktu layar menyingsing, panggung nampak sepi sebentar. Orang dengar bunyi jengkerik atau serangga lainnya untuk memberi tekanan pada kesunyian di situ.

ADEGAN 1

(Masuk seorang laki-laki, kurang-lebih berusia 30 tahun. Wajahnya ada persamaannya dengan potret LELAKI di dinding, meskipun tidak sedahsyat dan seburuk itu air mukanya. Ia memakai baju dan celana panjang putih yang kumal lagi bertambal-tambal. Pada celananja setinggi lutut ada noda hitam. Di lehernya tergantung kain leher secara tak acuh. Ia berjanggut, mukanya pucat lesi, matanya kemerah-merahan, rambut tak tersisir dan lebih panjang dari semestinya. la tidak berdiri tegap atas kakinya dan jalannya agak terpapah-papah. Dengan tangannya ia menopang diri pada tepi rongga pintu, terus masuk dengan sikap lemah dan mata yang memandang liar ke sekeli­lingnya.)

LELAKI: (suaranya agak parau, sedih, tak tentu larasnya) Ini, ini rumahku? Dulu bagus, sekarang begini? (mengusap keningnya, seolah-olah ada yang diingatnya) O, ya dulu lain dari sekarang, sekarang lain dari kemudian! (ketawa kecil, suaranya tak mengenakkan) Dulu rumahku bagus, sekarang kandang anjing, dan aku di dalamnya, jadi aku anjing! Ha! Ha! Tapi banyak anjing juga yang tinggal di rumah bagus. Anjing berkaki dua. (berdjalan sampai ke muka kaca di dinding kiri) Ha, ini rupaku? Anjing liar, kotor dan buruk! (memandang ke lu­kisan potret laki-laki) Ha, itu aku juga! Itu jiwaku: merah, hitam, jelek! Hitam dan merah, warna kejelekan dan nafsu jahat. Ha, ha! Lahirku (kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana, lalu mengangguk ke kaca) dan batinku (mengha­dap lukisan) sama saja. Memang mesti begitu. Lahir dan batin seimbang. (mengusap-usap kaca di depannya, lalu mengangguk-­angguk pada bayangannya sendiri di dalamnja; senyum pahit) Kau temanku, ya? Temanku setia. Kautunjukkan padaku bagaimana aku sebenarnya. Kau tidak membujuk, tidak gila hormat seperti manusia, tidak memfitnah, tidak cemburu, tidak jahat. Ya, kau temanku bersahaja, kucinta kau! Ha, ha! (berpaling, meman­dang ke meja, ketawanya hilang, meraba-raba perutnya; sejurus matanya terbeliak) Lapar! Lapar! (terhuyung-huyung mendekati meja makan, tangannya bertelekan pada daun meja itu, pan­dangannya meliputi benda-benda di atasnya, suaranya hampir membisik) Tak ada apa-apa. Habis! (mengempaskan diri ke kursi, bertopang dagu, memandang dengan sedih) Perut berkokok, dan tak ada makanan…. Ha! Brendi! Brendi saja! (memegang botol, di bawanya ke mulut hendak minum isinya, tapi tak setetespun yang keluar) Kosong! Brendi juga tak ada! (mengentakkan botol ke­medja kembali) Semua-semua tak ada. Cuma wadakku saja yang ada. Wadak yang jelek ini, jahat... celaka...! Minta pinjam dari tetangga?—Ah tidak! Tetangga cuma dua, dan mereka miskin juga—O! lebih baik tidur. Supaya lupa! (berdiri, menudju kebaleh-baleh, kemudian termangu) Atau, mati saja? Ya, mati, mati! (berjalan ke pintu; hampir sampai ke sana, terce­nung lagi) Tidak! Tidur dan mati sama saja! Sama-sama tak sadar. Cuma mati lebih lama dari tidur. Bisa lupa lebih lama! (kembali kebaleh-baleh) Mati dan tidur sama! (berbaring, selimut ditutupkan atas tubuhnja, tidur)

ADEGAN 2

(Beberapa saat lamanya panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian masuk seorang perempuan tua renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk berjalan. Nam­pak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih, sewaktu ia berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke situ, ia ber­henti, sebentar mengamati air muka orang dibale-bale itu dengan iba hati, lalu menggeleng-gelengkan kepala)

ORANG TUA: Ia tidur. Tidurlah nyenyak! Kau yang banyak menderita, kau yang banyak musuhnya. Kau yang keras hati, anakku, mengasolah. Tubuhmu lelah, jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala), ah, begitu keras hatinya! Mengasolah, damai, damailah, Nak! (mengusap air matanya)

LELAKI: (bercakap dalam tidurnya) Ibu.... Ibu!

ORANG TUA: Mengasolah, Nak. Ibu pergi dulu.

LELAKI: (membuka matanya, duduk tegak, terkejut) Ibu!

ORANG TUA: Diamlah, dan tidurlah, Nak.

LELAKI: (menjingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya bertelut ke lantai, memegang tangan ibunya serta menciumnya) Ibu… di sini! Dari mana Ibu datang?

ORANG TUA: Kau tak tahu dari mana aku; berapa lamanya kita tidak bertemu? Kau ingat?

LELAKI: Delapan tahun, Bu.

ORANG TUA: Ya, syukur kau masih ingat pada ibumu. Nah, tempat­ tinggalku jauh dari sini, tidak di bumi, tidak di mana orang hidup biasa. Aku datang dari tempat Tuhan, anakku, tempat keramat.

LELAKI: Duh, Ibu! Maaflah, maafkan daku! (menengadah, meman­dang orang tua itu dengan mata berlinang-linang)

ORANG TUA: Ya, kau tak tahu bahwa aku sudah tak ada di dunia ini. Dari itu aku datang untuk mengatakan ini kepadamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang lain yang lebih kusayangi dari padamu.

LELAKI: (memegang dadanya, menundukkan kepalanya) Duh! Aku mendurhaka besar terhadap Ibu.

ORANG TUA: Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak.

LELAKI: Ayah!

ORANG TUA: Ya. Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu selalu bertengkar, kedua-duanya sama keras hatinya. Sama keras kepalanya. Kata-katanya yang penghabisan adalah untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia bahwa kau tak ada pada saatnya yang terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan bahwa ayahmu sakit keras?

LELAKI: (tersedu) Maaf, maaf, Bu!

ORANG TUA: Terlambat sesalanmu itu. Tak bisa diperbaiki lagi di dunia ini. (sejurus hening, terdengar sedu-sedan LELAKI)

ORANG TUA: Ya, ayahmu mau memaafkan kau, tapi kau tak ada. Restu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terembus lenyap oleh napasnya yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan mendengarnya. Dan bahkan kalau ia men­dengar, ia tak akan menjawab sehingga jawabannya tak terdengar olehmu. Terlambat, terlambat, Nak! Ah, orang muda sering terburu perbuatannya dan lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras itu? Mengapa per­kataan ibumu selalu kauabaikan?

LELAKI: Bawalah aku, Bu, bersama Ibu. (bernafsu) Ah, aku tak be­tah di bumi ini! (memegang tangan perempuan itu) Boleh aku ikut Bu?

ORANG TUA: Bukan akulah yang dapat memastikan itu. Yang Mahakuasa jugalah yang memutuskannya, bila waktumu sudah tiba.

LELAKI: Tapi ah, tak ada yang mengikat aku lagi di sini.Ayah dan Ibu tidak, dan istri pun telah meninggalkan daku. Ibu, kasihanilah anakmu!

ORANG TUA: Istrimu sudah kaucerai, bukan? Aku tahu. Kuawasi kau dari jauh. Tapi meskipun jauh jaraknya, kulihat perbuat­anmu dengan jelas.

LELAKI: O, kuingat ibu selalu! Memang kurasa ibu selalu didekatku. Tidak jauh jarak kita, Bu. Aku merasa, merasa itu sampai ke ­dasar sanubariku. Aku dekat tempat-tinggal Ibu; sudah kucium baunya yang harum. Dan kadang kurasa udara damai mengembus dari situ. Bukankah tempat itu damai dan harumraksi?

ORANG TUA: Betul, tapi tunggulah saatnya. Kehendak Allah ta’ala tak dapat diubah oleh manusia.

LELAKI: Dapatkah aku bertemu Ibu kelak?

ORANG TUA: Itupun belum tentu. Putusan tidak pada kita.

LELAKI: O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin ditempat lainnya? Di tempat yang ngeri, penuh api dan gelap, di mana orang-­orang durhaka mendapat hukuman yang dahsyat? Tidak begitu, o tidak, tidak! O, Ibu, katakan aku tak akan tiba di sana, bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaanku telah cukup di sini, Bu!

ORANG TUA: Itu tergantung padamu sendiri, anakku! Pada amal­ perbuatanmu sendiri. Dia yang melindungi kita semua itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada-Nya. Tawakallah, Nak.... Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan Ibu. Terimalah doa­ restuku. (meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki)

LELAKI: (terkedjut) O, tunggu, tunggu dulu! (dipegangnya tangan dan tongkat orang tua itu dengan tergopoh) Ah Ibu, Ibu! (panggung gelap)

ADEGAN 3

(Setelah lampu dijalakan lagi, nampak LELAKI masih bersikap se­seperti tadinya, yakni berlutut dan dengan kedua belah tanganya se­olah memegang sesuatu, tapi perempuan tua itu sudah tak ada lagi)

(Secepat kilat tubuhnya seakan tergurat oleh tenaga listrik, lalu ditariknyalah tangannya ke dada dan berdiri pelahan. Kepala me­nunduk)

LELAKI: Oh... Ibu! Duh! Dan belum kutanya di mana adanya Ayah di sana, di alam baka. Di mana beliau kutemui nanti, bila aku mati? Mestikah aku mencari Ayah sampai waktu tak ber­ujung, sampai abadi mencari dengan beban sesalan hati yang berat? O, sudah sepantasnya hukuman itu bagiku! Ragaku akan dimakan api. Jiwaku melarat-larat di tempat hangus dan keji sepanjang masa. Seperti awan tak ada tempat berhentinya. Aku akan jadi hantu! Jadi hantu buruk, ngeri, dan semua orang akan takut melihat aku, o semua makhluk mengutuk aku! O—hantu! (merebahkan diri dibale-bale, menelungkup, muka di­pendamnya dalam bantal, kaki masih di lantai. Bahunya tersentak­-sentak oleh sedu-sedannya)

(Sementara itu masuk ke dalam bilik seorang perempuan muda yang wajahnya serupa dengan gambar perempuan di dinding, yaitu agak layu, tapi masih kentara sisa-sisa kecantikannya yang dulu. Pakaiannya bagus juga, merah jambu, dengan warna yang me­nyolok mata. Ia memakai selendang yang merah serta menjinjing tas yang biasa dipakai oleh perempuan. Dihampirinya LELAKI yang masih menelungkup dan tidak melihatnya itu, lalu meletakkan tangan atas pundaknja.)

ADEGAN 4

PEREMPUAN: Mas! Mas!

LELAKI: (terkejut bangun, memandang kepada yung baru datang itu dengan mata yang berkunang-kunang) Kau... kau?

PEREMPUAN: Ya, Mas

LELAKI: (heran) Kau? Benar kau istriku?

PEREMPUAN: (mengangguk) Ya, Mas.

LELAKI: Bukan hantu?

PEREMPUAN: Hantu?

LELAKI: (bangkit, memegang bahu perempuan itu dan melepaskan­ya lagi) Tidak, tidak, kau bukan hantu. Cuma aku, aku saja!

PEREMPUAN: Apa maksudmu?

LELAKI: (kecewa kecil) Ah, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Dik.

PEREMPUAN: Kau tidak senang melihat aku?

LELAKI: Bukan begitu. Aku senang kau datang kemari. Mana tem­patmu?

PEREMPUAN: Tempatku jauh

LELAKI: Di... di sana? (menuding ke atas) Berapa kali bumi ini jauhnya?

PEREMPUAN: (tercengang) Mas! Omongmu tidak keruan!

LELAKI: Di neraka atau di sorga?

PEREMPUAN: (marah) Rupanya kau sudah menjadi gila! Neraka atau sorga, katamu? Di sorga tak mungkin. Sebab kaulah yang menghalang-halangi aku untuk pergi ke situ kelak. Kaulah yang menyeret aku ke neraka!

LELAKI: Benar... benar, Dik. (berjalan ke kursi, duduk, matanya nanar memandang ke satu jurusan)

PEREMPUAN: Bukankah salahmu melulu, bahwa penghidupan kita ibarat neraka? Sehingga aku lari dari padamu, setahun yang lalu?

LELAKI: (bertopang dagu, lemah) Ya, ya, Dik. Maaf, Maaflah.

PEREMPUAN: (lunak kembali) Mas, bukan maksudku untuk meng­ingatkan kau pada kesalahanmu. Datangku tidak untuk mem­balas dendam.

LELAKI: (mengangguk) ‘Ku tahu, Dik, ‘ku tahu baik hatimu. Se­muanya ini salahku. Penderitaan orang tuaku. Sengsaramu. Samua aku yang menyebabkannya. Aku penjudi, peminum, penjahat, duh! Cinta kasih orang tua dan cinta kasihmu, betapa aku mem­balasnya? Harta benda orang tua habis lenyap karena aku. Habis dengan judi dan minum. Kusakitkan hati ayahku, kusedihkan ibuku. Dan kau, Dik (memandang perempuan muda itu) betapa aku membalas kebaikanmu? Dengan malas, dengan minum bren­di berbotol-botol yang kubeli dengan uangmu! Kau yang selalu kerja keras, aku yang menghabiskan uangmu, aku yang menyajat hatimu, menjiksa jiwamu! Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: Biarlah, itu sudah lampau. Sekarang aku sudah bisa mendapat mata-pencaharianku sendiri. Tapi kau sendiri? (melihat disekitarnya) Kau kekurangan segalanya, Mas.

LELAKI: Hukumanku, Dik, biarlah. Ini sudah setimpal.

PEREMPUAN: Kalau mau, aku bisa menolong. (membuka tasnya)

LELAKI: Ah tidak, tidak! Terima kasih, Dik!

PEREMPUAN: Tak usah malu-malu, Mas. Kuberikan dengan rela hati.

LELAKI: Aku tahu, aku tahu! Tapi jangan, jangan kauberi apa-­apa. Ah, kalau kupikir bahwa kau mau menolong aku, kau yang kujerumuskan ke jurang kemiskinan dan kehinaan! Segala kesa­baranmu, kerelaan dan cintamu, kubalas dengan apa? Dengan muka masam, kekasaran, dan penghinaan. Ah, betapa sering kuhina kau, Dik? Betapa sering kulemparkan cacian ke mukamu, bahwa kau berasal dari kaum rendah, tak pantas bersama aku sebab aku orang bangsawan?—Bangsawan, ha, ha! Apa artinya turunan bangsawan, jika tidak diserta? kebangsawanan jiwa? O, orang yang buta tuli seperti aku ini! Picik dengan persangkaanku bahwa orang berbangsa lebih dari orang lain, mesti di atas orang biasa. Picik, pandir dan gila! Sedangkan kau, Dik, seribu kali kau lebih bangsawan dari pada aku!

PEREMPUAN: Sudahlah. Jangan kausiksa dirimu dengan sesalan saja. Sekarang kau sudah insaf. Tutuplah riwayat yang dulu-dulu.

LELAKI: Riwayat yang dulu masih berakibat sampai sekarang. Hanya kepahitan sajalah yang kauterima dari aku. Segala kenikmatan hidup sudah kurenggut, kuhela, kucuri dari padamu, Dik. Tak pernah ada yang kuberi padamu.... O! Keangkuhan darah bangsawan yang tak mau campur dengan darah murba, karena itu dianggapnya rendah, kotor. Tapi siapa yang kotor, Dik? Aku, aku sendiri! Dan kaulah yang murni! Meskipun karena kemiskinanmu engkau menjadi.... Dik, kau masih menjalankan pekerjaan yang... yang...?

PEREMPUAN: Ya, Mas, yang hina, yang sangat hina, katakan saja­lah. (air matanja berlinang-linang)

LELAKI: Aku yang salah, Dik! Cintamu yang murni itu bahkan mau kauberikan kepada aku yang kotor ini, tapi kuinjak-injak, kuhina, kurusak sehingga kau terpaksa pergi menjual cintamu.... Demi Allah—Allah yang tak pernah kusebut dulu, kini kusebut, Dik—(memegang tangan perempuan itu kedua-duanya dengan kedua belah tangannya, berlutut) demi Allah, ampunilah aku. Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: (air matanya meleleh) Cukup, cukuplah, Mas.

LELAKI: Kauampuni aku, Dik? Katakan...!

PEREMPUAN: Ya, ya, Mas; berdirilah.

LELAKI: Katakan! ‘Ku mau dengar perkataan maafmu.

PEREMPUAN: Kumaafkan engkau, Mas, sudahlah.

LELAKI: (berdiri)

PEREMPUAN: Keadaanmu mengkhawatirkan, Mas. Kau mesti mempu­nyai pegangan hidup. Kalau tidak, kau akan tumbang.

LELAKI: Tak sampai hatiku meminta kau kembali, Dik. Tak mung­kin. (menggelengkan kepala dengan sedih) Aku akan membuat hidupmu kedua kalinya menjadi neraka saja.

(Kedua-duanja berdiam diri sejurus)

LELAKI: Aku sudah tumbang, Dik. Seperti pohon di tepi jurang yang akar-akarnya sudah putus semua, kecuali satu. Yang satu itu... kesenianku, Dik (menunjuk kepala lukisan-lukisan didinding) Itulah! Hanya itulah yang baik, yang tinggal pada­ku. Cuma satu itu pegangan hidupku. Untuk itu Masih ada kemauanku untuk hidup. Kalau itu tak ada... (menggerakkan tangannya, tanda putus asa) Tapi berat, berat! Seni lukis baru saja mengembang. Orang banyak belum sampai mengertinya, be­lum sanggup menghargainya. Apalagi membeli lukisan yang dibi­kin secara ini. Tak memberi basil untuk bekal hidup, tapi malahan minta biaya: cat, kain, ah!

PEREMPUAN: Aku percaya pada kesenianmu, Mas. Tapi berat per­juanganmu itu! Gambarku itu? (menuding ke potret perempuan)

LELAKI: Ya, Dik, ya. Kugambar dari luar kepala.

PEREMPUAN: Dengan kesedihan di dalam hati dan sesalan dalam jiwamu! Dan itu (menuding potret lelaki) agaknya kausendiri?

LELAKI: Aku, ya. Dengan muka setan. Setan yang mengintai dari dalam batinku!

PEREMPUAN: Tapi sekarang setan itu sudah kaubasmi.

LELAKI: Dengan korban akar-akar dari pohon jiwaku yang tum­bang, ya!

PEREMPUAN: Tumbang, tumbang! Mengapa perkataanku kau­ulang-ulang? Tak mungkin kau bangkit kembali?

LELAKI: Tidak, Dik. Apa yang sudah terjadi karena dosa-dosaku itu tak dapat dipulihkan lagi. Sudah terlanjur.

PEREMPUAN: Allah Yang Maha Pemurah selalu ada untuk meng­ampuni segala dosa. Dengan bekerja dan perdjoangan batinmu kau akan dapat menebus dosamu. Kalau itu sudah terjadi, Mas, aku akan kembali padamu. Sekarang aku minta diri.

LELAKI: Kau pergi, Dik, pergi? Meninggalkan aku yang sebatang­kara ini?— Tapi, ya memang begitulah semestinya. Sekian saja­lah pertemuan kita.

PEREMPUAN: Ya, Mas, sekian saja.

LELAKI: (menjabat kedua belah tangan perempuan itu; dengan suara serak) Selamat jalan, Dik.

PEREMPUAN: Selamat tinggal, Mas. Kerja dan berjuanglah! (ce­pat berpaling muka dan keluar)

ADEGAN 5

LELAKI: (sebentar ia berdiri di muka pintu, mengawasi perginya perempuan itu, lalu berpaling) Ke mana ia pergi? Ke mana? Penghidupan ini teka-teki melulu. Bukankah aku juga teka-teki bagi diriku sendiri? Sesedih ini penghidupan, dan aku masih mau hidup! O, hidup sebatang kara, tak ada teman, tak ayah-bunda, tak ada istri, tak ada anak! Anak, ya! Persetan dengan kesombonganku! Kalau aku sombong, pasti aku sekarang mem­punyai anak. Anak yang mencintai aku. Lahir dari istri yang cinta padaku! Anak yang menggembirakan rumah tangga, yang menghibur hatiku.... (tiba-tiba melihat lukisan) Ha! Aku tidak sendirian! (memandang potret perempuan) Itu dia. Raganya saja yang pergi tadi. Jiwanya masih di situ. Jiwanya yang bersatu dengan jiwaku. Oh! (sekonyong-konyong tangannya yang kiri memegang keningnya, yang kanan ditekankan ke perut; ia terhuyung-­huyung, seakan-akan hendak rebah ke lantai; air mukanya menun­jukkan bahwa ia kesakitan) Dua hari tidak makan! (berjalan dengan payah ke meja, menopang diri dengan tangannya pada tepi meja itu dan melihat-lihat barang-barang di situ; suaranya mele­mah sampai hampir berbisik) Lapar! Lapar! Tak ada apa-apa! (duduk, kepalanya yang menunduk disembunyikan di belakang ke­dua tapak tangannya)

ADEGAN 6

(Masuk seorang anak perempuan, kira-kira berumur empat ta­hun. Ia mendekati laki-laki itu, menarik-narik bajunya)

ANAK: Pak! Pak!

LELAKI: (terkejut) He! Siapa?

ANAK: Pak! Bapak tidur? Jangan tidur, Pak!

(LELAKI memandang makhluk kecil itu dengan sangat tercengang. Mulutnya seolah kejang. Dengan gerak-geraknya yang lucu anak itu hendak naik ke lutut lelaki. Sambil gemetar dipegangnya anak dan ditolongnya naik ke pangkuannya)

ANAK: Bapak marah? Mengapa tidak omong, Pak?

LELAKI: Eh... kau dari mana, Nak?

ANAK: Atik dari Ibu!

LELAKI: Dari Ibu? Ibu di mana?

ANAK: (menuding keluar) Di sana... jauh! Jauuuh! (ketawa dengan riangnya)

LELAKI: (senyum) Jauh, Nak? Dan Atik mencari Bapak di sini?

ANAK: (ketawa) Sudah ketemu! Ini Bapak! (menarik janggut si laki-­laki) Ayo main-main, Pak!

LELAKI: Main apa, Tik?

ANAK: Main kereta api, Pak. Kereta api seperti itu. (menunjuk ke­luar)

LELAKI: Kereta api di luar itu? Atik tahu? O, ya. Bagus, ya, Tik?

ANAK: Bagus, Pak! Ayo main. (melihat botol) Ini, ini kepalanya. Hitam, Pak, keluar asapnya! Asap besar, Pak, dan hitam juga. Hitaaaamm! (ketawa dan bertepuk tangan)

LELAKI: Baik, Nak, ayo! (memasang botol, piring, dan kendi menjadi sekelompok) Ini kereta api, ya, Tik? Ini kepalanya. Ini badannya.

ANAK: Oooo, bukan badan, Pak! Ekornya!

LELAKI: Baik, ini ekornya, Tik.

ANAK: Oooo, jelek, Pak, tidak begitu!

LELAKI: Bagaimana, Tik?

ANAK: (kecewa) O, Bapak tidak bisa! Ibu pandai main-main.

LELAKI: (tak tahu apa yang hendak dikatakannya)

ANAK: Mana asapnya, Pak?

LELAKI: Eeeh... tak ada, Nak.

ANAK: Ngngng! Kereta api kok tak ada asapnya! Dan bunyinya, Pak?

LELAKI: Bunyinya? Ehh... dooot, dooot!

ANAK: Tidak! Begini: tuuuut, tuuuut. Begitu, loh Pak!

LELAKI: O, ya, lupa Bapak, ya? Tuuut!Tuuut!

ANAK: Ng-ng-ng, Bapak tidak pintar. Ibu bisa. Ibu pintar main-main dengan Atik!

LELAKI: Ya, ehh....

ANAK: Atik mau makan, Pak. Ayo makan, Pak!

LELAKI: (bingung) Makan?

ANAK: Atik lapar, Pak. Mari makan, ya?

LELAKI: Oh besok saja, ya, Tik?

ANAK: Sekarang, Pak!

LELAKI: (Kehilangan akal)

ANAK: Atik lapar sekarang, Pak.

LELAKI: Besok, ya, Tik, anak manis. Sekarang Bapak tidak punya ma­kanan.

ANAK: Ngngng—Ibu punya, Pak! (dengan suara menangis) Atik mau ke Ibu, Pak! (turun dari pangkuan laki-laki)

LELAKI: (berdiri) Jangan, Tik. Di sini saja, ya? Sama Bapak?

ANAK: Tidak! Bapak tak beri apa-apa. Bapak tak suka Atik. Bapak nakal! (keluar dengan berjengkek-jengkek) Ibu! Ibu!

LELAKI: Anakku!! (dengan sisa tenaganya hendak mengejar anak itu, tapi di muka pintu ia terenjak, tangan kiri bergerak ke keningnya, kemudian kedua tangannya ditekankan keperutnya dan ia rebah ke lantai)

ADEGAN 7

(Dari jauh kedengaran suling kereta api, lama dipekikkan, se­perti jerit manusia yang terdera. Disusul oleh gemuruh berdebuk, sayup-sayup pada mulanya, lalu agak keras.

Laki-laki yang tertiarap itu bangun, bangkit dengan susah pajah, akhirnja berdiri dengan terkapah-kapah. Napasnya naik-turun dengan hebatnya)

LELAKI: (suaranya hampir menjerit) Anakku! Atik! Kuambilkan kereta api, ya? Kuambil, nanti main sama Bapak, Tik! (lari keluar)

ADEGAN 8

(Dari belakang panggung bunyi kereta api lewat semakin keras gemuruhnya. Kemudian terdengar pekik dan teriak dari beberapa orang yang terkejut dan penuh ketakutan: ”He—ee!!”, ”Ya Allah”, ”Tolong, tolong!!”, ”Astagfirullah!!”.

Beberapa saat, masih kedengaran suara berdebuk-debuk itu, yang semakin kurang kerasnya. Kemudian sunyi.

Sebentar lagi nampak di pintu dua orang tetangga, berpakaian seperti orang miskin di kampung, sarung dan pici saja. Mereka kelihatan pucat karena terkejut dan terharu)

TETANGGA 1: Masya Allah!

TETANGGA 2: Ini rumahnya. Mari masuk.

(Mereka Masuk dalam bilik)

TETANGGA 1: Gila orang itu tadi? Masak, kereta api datang, lan­tas disambutnya di tengah-tengah rel. Seperti menyambut kekasih saja! Tumpesss!!

TETANGGA 2: Dan ia teriak-teriak apa tadi?

TETANGGA 1: Entah (menggelengkan kepala) Seperti: ”Anakku, anakku! ”, begitu.

TETANGGA 2: Memang orang gila! Tengok! (menunjuk lukisan-­lukisan) Gambar-gambar apa itu? Tengkorak dan setan melulu. Hu!! Itu teman-temannya rupanya.

TETANGGA 1: (melihat keliling) Tak ada apa-apa di sini. Kosong. Mari, kita pergi. Tutup saja! (mereka keluar)

Layar Turun

(Sumber: Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1952)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Bengkel Menulis) Latar untuk Kualitas Visi

Oleh: Denny Prabowo


Karya yang baik tidak hanya menghadirkan cerita, tapi juga sebuah gambar nyata. Lewat tulisannya, penulis harus mampu membuat pembaca, ‘melihat’ apa yang dilihatnya, ‘mendengar’ apa yang didengarnya, ‘mencium bau’ yang diciumnya, ‘mencicipi’ apa yang dimakannya, ‘merasakan’ apa yang dirasakannya. Menghadirkan pernak-pernik pentas dengan kata-kata yang tepat akan membuat pembaca cendrung lebih mudah menerima suasana kejiwaan yang tercermin dalam aksi dan dialog, membuat pembaca terhanyut dan merasa terlibat secara emosi di dalam cerita itu.

Richard Yates dalam karyanya The Easter Parade mampu menghadirkan sebuah adegan di ruang percetakan yang membuat pembaca merasa seolah-oleh melihat, mendengar, mencium, mececap, dan mendengar tempat itu:

Para pekerja tampak bergegas di mana-mana, semua memakai topi yang kaku seperti kopiah, terbuat dari Koran yang dilipat-lipat dengan rapi.


”Mengapa mereka memakai topi kertas, Ayah?” tanya Emily.

”Hmm, mungkin mereka akan menjawab agar rambut mereka tidak terkena tinta, tapi menurut Ayah, mereka memakainya supaya terlihat keren saja.”

Setelah dialog itu, Yates memberikan gambaran ini kepada pembaca:

Mereka memerhatikan pelat halaman logam lengkung yang baru dipasang meluncur di atas rol berjalan, diapit ke tempatnya pada silinder; lalu, setelah terdengar deringan bel, mereka melihat cetakan tersebut menggelinding. Lantai baja yang bergetar di bawah kaki mereka terasa menggelitik, dan kebisingan yang sangat memekakkan telinga membuat mereka tidak bisa bicara; mereka hanya bisa saling mendengar sambil tersenyum, dan Emily menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Kertas cetakan berwarna putih meluncur ke berbagai arah melalui mesin-mesin itu, dan Koran yang sudah selesai muncul, menumpuk dengan rapi.

Jeda setelah dialog berupa narasi deskriptif memperkuat adegan dengan sangat jitu. Yates membuat pembaca seakan-akan berada di dalam ruangan percetakan, dengan dering bel, lantai yang bergetar, kaki yang terasa tergelitik. Walaupun novel ini bukan bercerita tentang bisnis percetakan, melainkan tentang dua anak perempuan yang tidak bahagia, adegan ini membentuk sebuah latar belakang yang kuat! []

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Bengkel Menulis) Latar Sebagai Landasan Cerita

Oleh: Denny Prabowo

Penulis seringkali bergantung pada ide ketika ingin memulai sebuah tulisan. Padahal, latar yang kuat cukup bagi kita untuk memulai cerita kita. Dalam buku Berguru kepada Sastrawan Dunia, Josip Novakovic mengungkapkan sebuah rumus: Latar = Tokoh = Plot. Dari sebuah tempat kita akan mendapatkan tokoh; dari motif yang dimiliki tokoh, bisa muncul sebuah plot (hubungan sebab akibat). Hal ini kedengarannya seperti sebuah teori psikologi, bahwa seorang tokoh adalah produk lingkungannya. Bagi seorang penulis, teori yang mengunggulkan pentingnya sebuah lingkungan akan lebih baik daripada teori yang mengabaikan hal itu. Sebab tanpa adanya tempat dan berbagai tindakan yang mempengaruhi sosok si tokoh, tak akan ada jalinan antara berbagai peristiwa.

Sebuah contoh mungkin akan memberikan gambaran bagaimana rumus yang dikemukakan Josip Novakovic bisa berhasil, seperti dalam cerpen Surat Buat Tuhan karya Gregorio Lopez y Fuantes.

Rumah itu—satu-satunya di seluruh lembah—bertengger di punggung sebuah bukit yang landai. Dari ketinggian tersebut, orang bisa melihat sungai dan, di samping kandang, ladang jagung yang ranum yang dipenuhi oleh bunga-bunga tanaman kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.


Paragraf awal ini memberikan kepada pembaca gambaran sebuah latar tempat. Paragraf berikut ini, memberikan kepada kita latar waktu.


Hal itu berlangsung cukup lama. Selama satu jam butiran-butiran air beku itu mendera rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung dan lembah. Tak ada sehelai daun pun melekat pada pohon-pohon. Ladang kelihatan putih, seperti tertutupi oleh garam. Jagung mereka semuanya hancur. Bunga-bunga kacang pun telah terengut dari tanamannya. Hati Lencho dipenuhi kepedihan. Ketika badai berlalu, ia berdiri di tengah ladang dan berkata kepada anak-anaknya.

“Serangan serangga pun masih menyisakan sesuatu… hujan es tadi tidak menyisakan apa-apa sama sekali: tahun ini kita tidak akan mempunyai jagung atau kacang…”


Dari latar tempat dan waktu seperti gambaran di atas, kita mendapatkan seorang tokoh bernama Lencho. Dari motif yang dimiliki tokoh Lencho, kita akan mendapatkan sebuah plot. Perhatikan paragraf berikut ini:

Lencho adalah seorang lelaki bertenaga kerbau, bekerja bagai hewan di ladang, tetapi tidak pandai menulis. Minggu berikutnya, di kala fajar, setelah meyakinkan diri bahwa roh pelindung itu sungguh-sungguh ada, ia pun menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota untuk diposkan.

Bukan sesuatu yang istimewa, selain sepucuk surat buat Tuhan.

”Tuhan,” tulisnya, ”kalau Engkau tak menolongku, maka aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso agar bisa menanami ladangku kembali dan menyambung hidup sampai datangnya musim panen, karena badai itu...”

Dengan mengambil latar ladang jagung dan kacang pada saat terserang badai, Gregorio Lopez membangun plot sebagai berikut: Ladang jagung dan kacang siap panen milik Lencho rusak terserang badai salju. Lencho dan keluarganya terancam kelaparan. Untuk itu Lencho mengharap pertolongan Tuhan. Maka ia pun menulis surat untuk Tuhan dan mengantarkan surat itu ke kantor pos.

Pendekatan di atas bisa pula diungkapkan dengan rumus: Latar + tokoh = Plot. Dari hubungan tokoh dengan latarnya, atau dari konflik yang dialami tokoh dengan latarnya, kita bisa mendapatkan sebuah plot, atau paling tidak sebagian dari plot, atau sebuah titik dinamis untuk mulai menyusun sebuah cerita.

Bahkan sekalipun latar maupun tokoh tidak menciptakan sebuah plot, cerita kita harus tampak seakan-akan rumus ini berhasil sehingga tempat, orang, dan aksinya seakan-akan menyatu. kita bisa saja mengambil sebuah plot dari sebuah peristiwa dalam surat kabar. Namun tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu harus memiliki motif yang cocok dengan kiprah mereka, dan motif ini berkaitan erat dengan lingkungannya.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Erma Yulihastin; Memimpin FLP Bogor dari Bandung

Ada kelegaan sekaligus kekhawatirannya tersendiri ketika Erma Yulihastin melepaskan jabatan sebagai ketua FLP cabang Bogor pada Mei 2009 lalu. Ia lega karena telah berusaha semaksimal mungkin memimpin FLP Bogor meskipun bekerja sebagai peneliti LAPAN yang berkantor di Pasteur, Bandung, sejak awal 2008. “Agak khawatir juga, karena karya teman-teman FLP Bogor secara kualitas dan kuantitas masih minim,” ujar ibu dari Sekar Nabila Inspirana

Selama setahun lebih, setiap bulan Erma ke menuju Bogor untuk berkoordinasi dengan pengurus dan anggota FLP Bogor. “Sekalian pertemuan bulanan. FLP Bogor sementara ini memang cuma bertemu sebulan sekali,” kata alumni ITB jurusan kata alumni ITB jurusan Geofisika dan Meteorologi. Sebelum memimpin FLP Bogor, Erma sempat bergabung dengan FLP cabang Depok pada pertengahan 2006. Selama 6 bulan Erma mengikuti Basic Writing Training angkatan III di Depok. Karena masalah jarak, Erma memutuskan untuk merintis kembali kepengurusan FLP Bogor yang sedang vakum.

Kunjungan ke Bogor juga dimanfaatkan Erma untuk melihat rumahnya di Gunung Putri. “Keadaan juga membuat saya dan suami hidup terpisah. Suami masih di Bogor, sedangkan saya dan anak di Bandung. Tapi, setiap Minggu suami berkumpul bersama kami. Sedangkan saya ke Bogor, sebulan sekali.”

Rencana ke depan, Erma berkeinginan untuk menetap di Bandung. “Tapi, karena suami masih kerja di Bisnis Indonesia, ya kami pisah dulu.” Erma mengaku tidak mengalami kesulitan dalam membina rumah tangga di kota yang berbeda. “Sekarang teknologi sudah canggih. Jam kerja saya dan suami on-line terus. Mau ngobrol apa aja bisa, “ ujar penulis yang baru mengeluarkan buku “La Tahzan for Working Mother”bersama denganteman-teman di FLP ini. (Koko Nata)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Simbolisme dalam Penyair dan Bulan

Karya: Hafi Zha


Seorang pengarang memiliki kemampuan untuk memotret kenyataan hidup di sekelilingnya ke dalam cerpen. Dengan daya imajinasinya, kenyataan hidup di dalam cerpen telah menjadi dunia baru. Dunia baru yang ditawarkan kepada pembaca untuk dinikmati, direnungkan, dan diambil hikmahnya. Dunia di dalam cerpen boleh jadi dibangun oleh penyair dengan tidak mengubah keasliannya di dalam dunia nyata. Unsur tokoh, tempat, dan suasana tetap dipertahankan sebagaimana adanya. Akan tetapi, tak semua pengarang memiliki kebebasan untuk berapresiasi dengan kenyataan hidup secara lugas. Walhasil, ia pun memilih untuk menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya untuk mewakili realitas yang dipotretnya.

Mari kita tengok cerpen karya Riyono Pratikno dengan judul Penyair dan Bulan. Cerpen ini menceritakan tentang seorang penyair yang keletihan menuju pondokannya di malam yang larut. Matanya yang memberat karena kantuk membawa kakinya menuju ke sebuah taman. Ia lalu tiduran di bangku taman. Sembari memandang bulan penuh di antara dedaun pohon. Antara tidur dan jaga, Penyair melihat bulan mendekat kepadanya. Hingga akhirnya ia mendapatkan bulan jatuh di pangkuannya. Hatinya sungguh senang. Ia pun membawa bulan untuk dibagikan kepada kawan-kawan yang sependeritaan dengannya. Berkumpullah mereka dan dipotonglah bulan dengan adil dan rata. Masing-masing membawa potongan bulan yang masih tetap bersinar.

Di tengah perjalanan, berubahlah potongan bulan menjadi gadis cantik. Penyair teramat senang hatinya karena belum pernah merasakan kenikmatan hidup seperti malam itu. Diajaklah Penyair oleh gadis cantik ke tempat yang becek di daerah kali yang baru meluapkan airnya. Lama-lama ia menghirup bau yang tak sedap dari kali itu. Ia juga mulai melihat dengan terang segala kekotoran yang ada dalam kebecekan itu. Ia tidak marah kepada gadis cantik. Sebaliknya, ia berterimakasih. Ternyata, kawan-kawan Penyair juga mendapatkan ilham dan pikiran-pikiran baru dari gadis-gadis bulan. Cerita lantas ditutup dengan bersatunya gadis-gadis cantik menjadi bulan dan kembali terbang ke langit sewaktu matahari hendak lahir.

Dari ringkasan cerpen di atas kita mendapati pemakaian simbol. Dengan mudah kita menunjuk bulan adalah simbol tersebut. Mengapa bulan? Jika kita telisik lebih dalam cerpen Riyono, akan kita temukan tafsiran berharga. Lebih dari sekadar memaknainya sebagai cerpen khayal tentang bulan sebagai benda langit yang jatuh di pangkuan seorang penyair, kemudian berubah menjadi gadis cantik.

Bulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) bermakna benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari. Juga dimaknai sebagai masa atau jangka waktu perputaran bulan mengitari bumi dari mulai tampaknya sampai hilang kembali. Dari pemaknaan tersebut kita dapati bahwa bulan adalah benda langit yang sebenarnya tak mampu memancarkan cahaya. Ia mendapat pantulan dari sinar matahari sehingga mampu bersinar di malam hari. Keindahan bulan dengan sinarnya di malam hari (apalagi bulan penuh) dipuja banyak orang, termasuk oleh tokoh di dalam cerpen Riyono.


Penyair perasaannya bergetar memandang bulan. Sebentar itu segala kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit hilang lenyap, dan ia semakin senyum memandangnya. Tangannya berganti-ganti menjadi bantal bagi kepalanya, dan pandangnya bertambah gairah.

Riyono mengajak kita untuk ikut menyelami pikiran dan perasaan penyair sebagai tokoh cerita. Ia tengah dilanda keletihan atas kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit. Semacam kecemasan dan kegelisahan akan hidup. Di sisi lain ia menemukan penghiburan dengan melihat bulan. Selanjutnya, dengan tidak berbasa-basi, Riyono memberikan kebahagiaan yang lebih kepada tokoh ceritanya dengan menjatuhkan bulan di atas pangkuannya, lalu berubah menjadi gadis cantik. Gadis bulan yang cantik inilah yang membawa pemaknaan baru terhadap cerpen Riyono. Selain membawa kebahagiaan tersendiri bagi Penyair, gadis bulan memberikan ilham (pikiran baru) kepadanya. Seolah-olah gadis bulan menjadi kunci yang membuka kesadarannya.

Ia tiada marah pada gadis cantik di sampingnya oleh penunjukan tempat yang sebobrok itu, malahan ia berterimakasih sepenuh hati, karena telah membuka pikiran-pikiran baru.

Gadis bulan dalam cerpen ini mencoba menyentuh kepekaan Penyair terhadap lingkungan yang ia anggap tak indah lagi. Selain itu, gadis bulan meruntuhkan pandangan Penyair terhadap keindahan bulan yang biasanya ada di langit malam, tiba-tiba turun ke bumi.

“Mengapa kita mesti duduk di sini? Sedangkan tempat-tempat yang indah masih banyak lagi lainnya,” tanya Penyair.

Bulan dengan wajah menggoda menjawab:

“Benar-benarkah kau tidak lagi menemui keindahan di sini?”

Penyair menggelengkan kepalanya.

“Tahukah engkau apa sebabnya? Karena bulan malam ini tidak ada. Bulan malam ini turun ke bumi, dan karena itu tidak kau dapati bayangnya mengaca di kali serta tanah-tanah becek ini. Karena itulah hilang pandangan keindahanmu terhadapnya.”

Dari pembahasan di atas, dapat kita maknai bahwa bulan di dalam cerpen Riyono merupakan keindahan yang semu. Dengan turunnya bulan ke bumi lalu berubah menjadi gadis cantik yang menemani si penyair, membuat apa yang ada di bumi kehilangan keindahannya. Selain itu, bulan (gadis bulan) telah membuka mata batin si Penyair bahwa keindahan sesuatu yang tampak oleh mata belum tentu benar-benar indah. Bahkan ia bisa saja menyimpan kebobrokan dan kekotoran di balik keindahannya itu. Kesadaran penyair juga digugah bahwa tak selamanya inspirasi (ilham) berada jauh dengan memandang ke atas langit. Akan tetapi, bisa ditemukan dekat dengannya, di lingkungannya sendiri.

Sementara itu, secara simbolik Riyono juga telah menampilkan sosok tokoh si Penyair yang mengalami kepahitan hidup yang pada hakikatnya sama dengan situasi yang dialami masyarakat dengan hidup yang sukar tetapi mengangankan kenikmatan.

Di dalam simbolisme dunia nyata sekadar perlambang dari dunia yang tidak tampak. Jassin mengatakan simbolisme serumpun dengan surealisme.[1] Persamaannya dengan surealisme ialah bahwa keduanya hanya mempergunakan realisme sebagai batu loncatan kepada dunia di belakang realisme, dunia cita.

Riyono membuka cerpen ini dengan tindak lakuan yang merupakan bagian dari realisme sampai pada paragraf berikut ini:

Penyair perasaannya bergetar memandang bulan. Sebentar itu segala kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit hilang le­nyap, dan ia makin senyum memandangnya. Tangannya berganti-ganti menjadi bantal bagi kepalanya, dan pandangnya bertambah gairah.

Waktu ia berada antara tidur dan jaga, maka betapa terkejutnya ia waktu dilihatnya, bulan makin mendekat jua padanya.

Peristiwa yang terjadi setelah Penyair berada dalam kondisi antara tidur dan jaga ini merupakan realitas pikiran atau seperti kata Jassin, dunia di belakang realisme. Namun, cerpen ini belum dapat dikatakan sebagai cerpen surealis karena tindak laku dan tindak pikir berlangsung secara kronologis, sementara surealisme menghendaki keseluruhan dan kesewaktuan (simultan).[2] Apa yang dilakukan dan apa yang dipikirkan, hadir bersama-sama dalam satu peristiwa sehingga kita sulit menemukan hubungan antarperistiwanya. Meski demikian, cerpen ini jelas menunjukan gejala sebagai cerpen surealis.

Kapuasdua,14 Juli 2009



[1]Lihat Tifa Penyair dan Daerahnya. “Surrealisme”. Jakarta: Gunung Agung, 1953, hlm. 26

[2] Ibid, hlm. 22

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati