Archives

(Bengkel Menulis) Dari Mana Datangnya Ide


Disusun oleh: Denny Prabowo

Seorang
penulis sudah semestinya adalah seorang pengamat. Penulis baik adalah pengamat yang baik. Pengamat yang baik selalu peka dan tertarik pada segala hal. Ketertarikan seorang penulis pada objek yang dianggap remeh dan biasa oleh sebagian orang, membuatnya tak akan pernah kehabisan cerita. Seperti menimbun ide di lumbung imaji.

Seorang penulis pernah berucap kalau dia tidak suka menulis tentang terminal atau pasar, karena menganggap tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Bisa jadi dia bukan seorang yang kurang akrab dengan kehidupan di kedua tempat itu. Demikianlah sesungguhnya penulis itu tengah membangun jeruji besi yang siap memenjarakan imajinya. Tidak perlu heran apabila kelak penulis itu akan sering mengeluh tidak memiliki ide cerita untuk ditulisnya, karena dia—sadar maupun tidak sadar—telah membatasi cakrawala imajinya.

Bagaimana mungkin kita bisa menjadi pengamat yang baik, yang memiliki kepekaan, kalau kita membatasi ketertarikan pada sesuatu. Padahal, menjadi pengamat yang baik adalah kunci menjadi penulis yang baik, yang dengannya kita tak akan pernah kehabisan ide cerita untuk dituliskan.

Begitu banyak peristiwa terjadi di sekitar kita, dan kesemuanya adalah sumber cerita. Yang perlu dilakukan oleh seorang penulis hanya membuka mata dan telinga, biarkan imajinasi menyelesaikan tugasnya. Ada bermacam cara mendapatkan sumber cerita.

  1. Pengalaman

Banyak pengarang mengatakan bahwa kita dapat menemukan cerita dari mana saja. Sumber terbaik cerita fiksi adalah pengalaman. Pengalaman ini tidaklah harus pengalaman pribadi. Bisa juga bersumber dari pengalaman orang lain.

Hamsad Rangkuti menulis cerpen “1000? 500? 1000?” berdasarkan pengalaman ketika dia naik bis kota. Waktu itu ongkos bus lima puluh rupiah. Dia memberikan lembaran seribu, tapi kata kenek waktu mengembalikan kembalian, berkeras kalau dia menyerahkan lembaran limaratus. Terjadi pertengkaran. Kenek tetap pada pendiriannya, begitupun dengan Hamsad Rangkuti.

Pengalaman adalah harta berharga bagi seorang penulis. Berapa usia anda? Ingat-ingat apa saja yang pernah anda alami, lalu tuliskan. Maka anda telah menyelesaikan sebuah cerita.

  1. Pandangan Selintas

Suatu kali Hamsad Rangkuti melihat dari jendela bis seorang lelaki menekan kawat sinyal di sisi rentangan rel. Pada saat rentangan kawat sinyal itu ditekan, seorang wanita yang mengenakan kebaya melangkah di atas rentangan kawat sinyal itu. Setelah melintas wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang berada di sebelah tempat duduk si lelaki. Cuma itu yang dilihat Hamsad Rangkuti, sementara bis yang ditumpanginya tetap melaju. Dan dari pandangan selintas itu lahirlah sebuah cerpen berjudul: “Hukuman untuk Tom”.

Seekor anjing yang mengorek-korek bak sampah bisa jadi merupakan pemandangan biasa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi penulis yang memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi menjadi sangat tidak biasa sebab cakrawala imajinya akan mengajaknya segera berandai-andai.

Seandainya saja, seekor anjing yang mengorek-korek bak sampah itu tiba-tiba menemukan sebuah kardus berisi bayi, atau bisa saja anjing itu menemukan potongan tubuh. Dari pandangan selintas terhadap sebuah peristiwa yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang itu, kita telah mendapatkan sebuah plot (rancangan cerita). Kemudian muculkan pertanyaan-pertanyaan. Semisal, apakah bayi di dalam kardus itu masih hidup? Atau sudah mati? Siapa yang membuangnya di tempat itu? Mengapa bayi itu harus dibuang? Apa yang kemudian dilakukan anjing itu? Dan ketika kita telah mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kita susun, maka sebuah cerita telah selesai kita tuliskan.

  1. Berita

Dalam sebuah workshop kepenulisan, Hamsad Rangkuti mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah bahasa”. Hampir setiap hari kita melihat tayangan berita di televisi, membaca di koran, atau mendengarkan di radio. Ada anak membunuh bapaknya, ada paman memerkosa keponakannya, ada perampok nasabah ditembak kakinya, ada artis dipenjara karena kasus narkoba, ada anak kecil mencoba gantung diri karena belum membayar uang sekolah, ada sebuah desa terendam banjir, ada rumah teruruk longsoran sampah, ada pembantu disiksa majikannya, ada artis dipanggil polisi karena foto bugilnya. Begitu banyak peristiwa yang kita dapat dari media massa. Kita hanya perlu memilihnya satu saja untuk dijadikan cerita.

Dalam sebuah wawancara majalah dengan Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carrascalao, didapatlah sebuah fakta:

Pada akhir oktober saya menerima empat pemuda di ruangan saya, di antara mereka ada dua orang yang telinganya dipotong. Mereka suatu hari duduk di atas jembatan. Tiba-tiba muncul lima orang, tiga orang asal Timtim dan dua orang berasal dari luar Timtim. Langsung menangkap pemuda itu, dipukuli, dan telinganya dipotong.

Bagi seorang penulis, laporan semacam ini menantang untuk digarap menjadi sebuah cerita. Diapakan telinga-telinga yang dipotong itu? Maka Seno Gumira Ajidarama menuliskan sebuah cerita berjudul “Teling”, kisah seorang serdadu yang suka mengirimkan telinga kepada pacarnya, dan betapa bangga pacarnya menerima telinga-telinga itu.

  1. Mitos

Begitu banyak mitos di negeri ini yang bisa digarap menjadi sebuah cerita. Salah satunya adalah mitos tentang kupu-kupu yang selalu dikaitkan dengan kedatangan seorang tamu. Dari mitos tersebut lahirlah sebuah cerita dari tangan Seno Gumira Ajidarama, “Ada Kupu-kupu, Ada Tamu”, yang berkisah tentang sebuah rumah yang suatu hari kedatangan kupu-kupu. Pemilik rumah lantas mempersiapkan perjamuan karena yakin kalau hari itu bakal datang seorang tamu ke rumahnya.

Masih banyak mitos-motos lain yang bisa digarap menjadi cerita. Mitos tentang burung gagak, misalnya. Keberadaan burung gagak sering dikaitkan dengan berita kematian. Suatu kali seekor gagak hinggap di atap rumah seorang warga. Seorang tetangganya melihat hal itu. Dia yakin sekali kalau mitos itu benar. Dia memeringati pemilik rumah itu agar berhati-hati. Tetapi pemilik rumah itu tidak percaya dengan mitos. Tetangganya itupun menguntit ke manapun pemilik rumah itu pergi untuk membuktikan mitos itu benar. Tapi sampai sebuah mobil menerjang tubuhnya saat dia berusaha menyusul pemilik rumah menyeberang jalan, dia belum berhasil membuktikan kebenaran mitos itu.

  1. Dongeng

Berapa banyak dongeng yang pernah ada dengar? Dongeng-dongeng yang pernah anda dengar merupakan sumber cerita potensial yang bisa digarap. Pilih saja salah satu, lalu tuliskan kembali dengan melakukan perubahan pada ending cerita, atau bahkan memutar balikkan logika.

Bagaiman sendainya pangeran tampan tak pernah menemukan sepatu kaca milik Cinderella? Atau bagaimana seandainya saja sepatu kaca yang ditemukan pangeran ternyata cukup saat dipakai oleh saudara tiri Cinderella? Lalu bagaimana jika Jaka Tarub salah mencuri selendang Nawangwulan, bidadari yang ditaksirnya, dengan selendang milik bidadari lainnya? Atau malah Jaka tarub tak pernah mencuri selendang milik Nawangwulan, padahal bidadari itu berharap sekali selendangnya dicuri? Pertanyaan-pertanyaan itu akan mengantarkan anda pada sebuah cerita yang baru.

  1. Mencuri dari Buku

Dalam sebuah workshop teater, Slamet Raharjo Jarot mengatakan, bahwa karya yang telah dipublikasi bebas ditafsir ulang oleh pembaca. Kalau karya kita tak mau ditafsir orang, maka simpan saja di dalam lemari. Begitu banyak kisah cinta masa kini yang dituliskan berdasarkan karya Sakespear, Romeo dan Juliet. Bahkan kisah Romeo dan Juliet pun disinyalir terinspirasi dari kisah Laila Maj’nun.

Sapardi Djoko Damono menafsir ulang karya Samuel Backett yang sangat ternama, “Waiting for Godot” . Dalam naskah drama itu, Samuel backett beranggapan bahwa manusia menunggu maut. Sapardi memutar balikkan logikanya, bukan manusia yang menunggu maut, tapi manusia yang ditunggu oleh maut lewat cerpennya, “Ditunggu Dogot”

  1. Sejarah

Sejarah merupakan catatan sebuah peristiwa. Oleh sebabnya dia telah memenuhi unsur sebuah cerita. Kita bisa menghadirkan sejarah ke dalam cerita yang kita tulis dengan menghadirkan tokoh fiktif. Misalnya saja catatan sejarah tentang G30S PKI. kita bisa menceritakan malam pembantaian 7 jendral itu lewat sudut pandang orang yang melakukan penyiksaan. Atau kita bisa membayangkan diri kita sebagai Ade Irma Suryani, yang turut menjadi korban dalam peristiwa itu.

Begitu banyak cerita yang mengambil latar sejarah. Salah satunya film “Kingdom of Heaven” yang mengambil latar sejarah perang salib di Jerusalem. Di Indonesia sendiri kita memiliki film “Cut Nyak Dien”. Yang mungkin paling terkenal adalah sejarah tenggelamnya kapal Titanic. Peristiwa sejarah itu mengantarkan kita pada sebuah kisah cinta yang lebih kurang seperti Romeo dan Juliet, tentang cinta yang dipertentangkan karena status sosial yang berbeda. Kehidupan di dunia telah berlangsung begitu lama, sejak jaman Adam as., sampai sekarang, telah begitu banyak peristiwa yang dicatatkan sebagi sebuah sejarah. Dari satu peristiwa sejarah saja, kita bisa membuat bermacam cerita lewat sudut pandang berbeda-beda.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Bengkel Menulis) Latar Sebagai Potret Tokoh

Oleh: Denny Prabowo


Berapa banyak cara untuk menggambarkan mata dan hidung, jika kita tidak mengandalkan metafora? Tidak banyak. Tidak mudah memang menemukan kata-kata yang variatif untuk menggambarkan fisik seseorang. Sedangkan penggunaan kata sifat untuk menggambarkan karakter seseorang bukanlah hal yang bisa dikatakan cerdas. Namun, melalui cara seseorang menata lingkungannya, kita bisa mendapatkan gambaran karakter dari orang tersebut.

Dalam Dead Souls, Nikolai Gogol menggunakan barang-barang dalam ruangan keluarga untuk menjelaskan karakter seorang tokoh:

Sebuah jeruk yang benar-benar mengering, dan tidak lebih besar dari sebuah pegangan kursi dari kayu kenari yang telah rusak; gelas anggur yang ditutupi sehelai surat, berisi semacam cairan dan tiga ekor lalat;... sebuah tusuk gigi, yang sudah menguning, dan mungkin telah digunakan oleh pemiliknya untuk membersihkan giginya sebelum kedatangan Prancis di Moskow... dari tengah langit-langit tergantung sebuah lampu hias yang terbungkus kain linen, yang diselimuti debu yang berkumpul sedemikian banyaknya, memberikan kesan seakan-akan kepompong ulat sutra dengan seekor ulat di dalamnya. ...Sangat tidak mungkin membenarkan bahwa ada makhluk hidup menempati aparteman itu, apabila tidak tampak sebuah topi tidur kuno yang sudah teruirai benangnya, tergeletak di atas meja, yang menjadi saksi.

Latar ruangan itu memberikan kita sesosok tokoh, seorang yang kikir. Sajian ini diperkuat oleh perincian lainnya.

Bagi semua pelayan rumahnya... Pliushkin hanya menyediakan sepasang sepatu lars, yang bisa ditemukan di ruang depan. Siapa pun yang dipanggil; menghadap sang tuan biasanya berlari menyeberangi halaman dengan bertelanjang kaki; namun sesaat sebelum memasuki ruang depan, dia memakai sepatu lars itu dan, setelah rapi, muncul dalam ruangan. ...Jika kita melihat ke luar jendela pada musim gugur, terutama pada pagi hari saat embun mulai membeku, kita akan dapat melihat semua budak di rumah itu berlompatan yang bahkan tak pernah diperagakan oleh penari kawakan di luar pentas.

Penggambaran tokoh yang kikir dalam Deadsouls karya Nikolai Gogol ini jelas lebih baik daripada penggunaan sekumpulan kata sifat. Gambarkanlah tokoh dengan beraneka ragam benda yang ada di sekelilingnya.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Warta Penerbit) Penerbit Zenith

Kesempatan selalu datang berulang kali bagi yang mau berpikir. Zenith mengundang penulis bermutu untuk bergabung memberikan rasa manfaat untuk orang lain. Silakan bergabung bersama Zenith!

  1. Karya Penulis Cilik. Ditulis oleh anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Bisa berbentuk novel, petualangan atau komik. Panjang naskahnya minimal 35 lembar spasi 1,5. Maksimalnya berapa? Setebal dan sekuat kamu, Nak….
  2. Naskah Remaja. Berbentuk fiksi atau non fiksi. Bisa tentang petualangan, kisah hidup yang bermakna, cinta usia muda, komik remaja. Lebih diutakan dengan gaya teens dan hip hip hura. Panjang naskah minimal 35 halaman, spasi 1,5. Maksimal ketebalan terserah kamu!
  3. Fiksi. Bisa berbentuk roman, epik, humanis, dsb. Diutamakan yang bersetting budaya kuat. Lebih disukai kisah-kisah dari negeri Islam yang bergeliat atau perjuangan kaum muslim di negaranya. Bisa juga kisah-kisah lucu atau komik petualangan dan fiksi-fiksi plesetan. Tebal minimal 150 halaman spasi 1,5. Font 12, book antique. Tebal maksimal tidak ditentukan. Silakan berkreasi sekeras mungkin!
  4. Non Fiksi. Bertema bebas. Bergenre bebas. Berciri khas bebas pula. Tebal naskah minimal 75 halaman, spasi 1,5, font 12 book antiqua.
  5. Naskah keluarga. Mengangkat tema-tema pendidikan anak dan keluarga.
    Tebal minimal 65 halaman, spasi 1,5, font 12 book antiqua.


JANGAN LUPA!

# Lampirkan data dirimu selengkap-lengkapnya. Nama, alamat, imel,
blog, HP dan sebagainya.

# Bagi yang mengirimkan naskah print out, sertakan soft copynya.

# Naskah bisa dikirim via imel.

# Naskah yang masuk menjadi milik Zenith Publishing.

TAWARAN DARI ZENITH

> Sistem per janjian yang jelas dan bertanggung jawab, terkait dengan royalty dan hak-hak penulis lainnya.

> Naskah akan ditanggapi maksimal dua bulan. Dan bagi naskah bermutu, kami segera menghubungi secepat Anda mengirimkannya.

ZENITH: MARI MENAPAK BERSAMA!

Kantor: Jalan Kelud 143 Rt 01 RW 04 Kandangan – Kediri –Jatim
Telp/fax : (0354) 326139 – (0354) 528489

Email: rumahzenith.publishing@gmail.com

SMS Centre: 0856 55767132

SEMANGAT!

(Sumber: milis Forum_lingkarpena)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Dari Orwell sampai Mahbub

:Biografi Mahbub Djunaidi
Oleh: Noor H. Dee


Sebelumnya saya tidak pernah mengenal lelaki itu. Jangankan mengenal, mendengar namanya saja belum pernah. Hidup saya sudah bising. Di kehidupan saya, orang-orang datang dan pergi semaunya. Muncul dan menghilang begitu saja. Sampai akhirnya saya pun menganggap bahwa pertemuan dan perpisahan itu sama saja. Tak ada yang perlu diistimewakan pada setiap pertemuan, dan tak ada yang perlu ditangisi pada setiap perpisahan. Pertemuan dan perpisahan adalah mahluk yang sama. Itu sebabnya, meskipun saya tidak mengenal lelaki itu, saya merasa biasa saja. Lebih tepatnya: tidak peduli. Lagi pula—dan ini yang lebih penting—lelaki itu sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi, apa pentingnya mengenal seseorang yang sudah lama meninggal?

Saya tetap menjalani kehidupan ini seperti biasa, tanpa peduli dengan lelaki itu. Dan memang sudah seharusnya seperti itu. Hingga akhirnya segalanya pun berubah. Tiba-tiba saja saya jadi peduli dengan lelaki itu dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang dirinya. Semua perubahan itu bermula dari Ayah saya, yang mengaku kenal dengan lelaki itu.

“Ini dulu teman Ayah, Di.” Begitu kata Ayah saya, yang usianya sudah 77 tahun, sambil menunjuk sebuah nama yang tertera di dalam lembar halaman majalah sastra Horison. Nama itu bertuliskan: Mahbub Djunaidi

Di titik inilah akhirnya saya berkenalan dengan lelaki yang sudah lama meninggal itu, yang sebelumnya tidak saya kenal dan memang tidak pernah saya pedulikan. Seandainya Ayah saya tidak pernah berkata “Ini dulu teman Ayah, Di.” kepada saya, barangkali tulisan ini tidak akan pernah ada.

Ya. Lelaki itu bernama Mahbub Djunaidi. Ia adalah seorang jurnalis, kolomnis, dan sastrawan yang namanya sudah lumayan sering diperbincangkan. Ia lahir di Jakarta, 27 Juli 1933 dan meninggal di Bandung, 1 Oktober 1995. Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1948, tepatnya ketika masa revolusi fisik terjadi, Mahbub mengungsi ke Solo. Di kota ini ia lulus SD dan masuk SMP (kelas 1), juga sempat belajar di Madrasah Mambaul Ulum.

Mahbub Djunaidi adalah seorang sastrawan, meskipun ia tidak menulis banyak karya sastra, tapi kekhasan yang dimiliki olehnya bisa dikatakan tidak biasa. Novel pertamanya berjudul Dari Hari ke Hari, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975. Novel itu berkisah tentang revolusi kemerdekaan yang tokohnya adalah seorang kanak-kanak. Dalam tulisannya yang berjudul Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan mengatakan bahwa penggunaan tokoh kanak-kanak di dalam novel Dari Hari ke Hari bisa ditafsirkan sebagai simbol bahwa Republik Indonesia yang masih baru lahir sama wujudnya dengan kanak-kanak yang polos dan lugu. Pengalaman-pengalaman revolusi yang spektakuler itu disejajarkan dengan pengalaman kanak-kanak yang mengalami perubahan dari saat ke saat hingga mencapai kestabilan.[1] Novel Dari Hari ke Hari menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1975.

Sampai di sini saya mulai tertarik dengan lelaki itu. Ya, ternyata lelaki itu memiliki sudut pandang yang tidak biasa, yang mungkin hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Menganalogikan Republik Indonesia yang baru saja merdeka dengan seorang kanak-kanak adalah sebuah analogi yang jarang sekali terpikirkan oleh orang banyak. Dan lelaki itu, Mahbub Djunaidi, telah melakukannya. Hebat. Begitu kata saya. Lantas saya pun kembali tercebur lebih dalam untuk kembali mengenal lebih jauh tentang lelaki yang ternyata dulunya adalah teman Ayah saya itu.

Setelah novel Dari Hari ke Hari terbit, Mahbub Djunaidi kembali menerbitkan novel berikutnya yang berjudul Angin Musim, diterbitkan oleh PT Inti Idayu Press, pada tahun 1985. Tidak kalah dengan novel sebelumnya, Angin Musim adalah novel satir yang tokohnya adalah seekor kucing jalanan. Dalam novel itu Mahbub dengan lincahnya menulis segala macam bentuk situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu (Orde Baru), lewat sudut pandang seekor kucing. Dilihat dari sudut ini, Agus R. Sarjono, penyair sekaligus redaktur Majalah Horison, mengatakan bahwa mungkin Mahbub Djunaidi adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan sudut pandang seekor binatang.

Dalam novel Angin Musim ini, saya tertarik dengan percakapan di bawah ini:

“Boleh saya ambil kucing ini?” tanya (dua orang berpakaian dril berwarna kuning—pen) kepada para pedagang yang terheran-heran.

“Dipersilakan dengan hormat,” jawab tukang daging.

“Lebih bagus lagi kalau kucing yang ada di pasar ini diangkat semua kemudian dicemplungkan ke dalam samudera,” kata tukang ikan.

“Makhluk keparat itu lebih jahat dari babi. Babi tidak mencuri, tapi kucing dari negeri mana pun bisa mencuri apa saja, termasuk sapu tangan kita,” sahut pedagang tahu.

“Apakah kucing ini kesayangan mandor pasar, atau barangkali Komandan Hansip?” tanya orang berpakaian dril itu.

“Kesayangan mandor pasar? Tentu saja bukan. Mandor pasar tidak sempat memikirkan apa pun kecuali memungut pajak tempel. Kucing itu yatim piatu dalam arti kata sebenar-benarnya. Pokoknya Bapak-bapak akan memperoleh pahala berlimpah-limpah jika sudi menyingkirkan binatang busuk itu dari sini,” seru mereka serempak seakan keluar dari satu tenggorokan.

Sampai di sini saya tertawa-tawa. Saya tidak pernah terpikir sampai ke situ. Kucing, yang konon katanya adalah binatang kesayangan nabi, ternyata tak lebih dari binatang celaka yang sangat dibenci oleh para penghuni pasar. Dalam novel itu diceritakan, setelah itu kucing sial itu pun dimasukan ke dalam karung semen untuk kemudian pertualangan pun dimulai.

Novel Angin Musim karya Mahbub Djunaidi ini membuat saya teringat dengan novel Animal Farm karya George Orwell. Jika Angin Musim tokohnya hanya seekor binatang saja, yaitu: kucing. Dalam Animal Farm bisa dikatakan tokohnya binatang semua. Animal Farm berkisah tentang para binatang yang hidup dalam sebuah Peternakan Hewan, yang semua binatang itu ingin melakukan revolusi bagi masa depan yang lebih baik, tapi sayangnya harus berakhir tragis dalam kendali kaum mereka sendiri. Animal Farm adalah fabel satir yang ditulis untuk mencemooh komunisme, yang dimana sebuah masyarakat hidup di bawah satu komando sang diktator yang semula dianggap sebagai pahlawan.

Dan saya tidak keliru. Ternyata Mahbub Djunaidi memang penggemar George Orwell, seorang sastrawan satiris yang terkenal di dunia. Bahkan, Mahbub Djunaidi pun pernah menerjemahkan Animal Farm karya George Orwell ini ke dalam bahasa Indonesia, yang judulnya menjadi: Binatangisme. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya sastra asing lainnya ke dalam bahasa Indonesia, seperti: Di Kaki Langit Gunung Sinai (karya Mohamed Heikal, 1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (karya Michael H. Hart, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (karya Jules Verne, 1983), Cakar-Cakar Irving (karya Art Buchwald, 1982), Lawrence dari Arabia (karya Philiph Knightly, 1982), dan lain-lain.

Selain menjadi sastrawan, sebenarnya Mahbub Djunaidi adalah seorang jurnalis. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat (1960-1970), wakil pimpinan Kantor Berita Antara, wakil ketua PWI Pusat (1963-1964), ketua PWI Pusat (1965-1970), anggota Dewan Pers (1971-1978), dan ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1971-1979). Bahkan, pada tahun 1978-1979 ia sempat ditahan oleh rezim Orde Baru lantaran tulisan-tulisannya yang tajam.[2] Bahkan, ternyata Mahbub Djunaidi pun aktif di dalam dunia politik, dan pernah menjadi anggota DPR/MPR RI (1960-1970).

Sebenarnya Mahbub Djunaidi juga menulis cerpen, tapi sayangnya hingga sekarang cerpen-cerpennya itu belum pernah ada yang dibukukan. Ia juga menerbitkan dua buku kumpulan esai mengenai jurnalistik: Kolom Demi Kolom (1986), dan Humor Jurnalistik (1986).

Fiiiuuuhhh. Sampai di sini saya menghela nafas panjang. Ternyata lelaki itu memang sungguh luar biasa. Seandainya saya memiliki mesin waktu, saya ingin sekali kembali ke masa lampau agar bisa berjumpa dengan dirinya, untuk kemudian berkata kepadanya: “Ajarkan saya agar bisa menjadi orang hebat seperti anda”. Ya, saya ingin belajar banyak dari Mahbub Djunaidi. []



[1] Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan, Majalah Sastra Horison/Kakilangit 118/Oktober 2006. hlm 8

[2] Sastrawan, Jurnalis, Sekaligus Politikus, Korrie Layun Rampan, Majalah Horison, Kakilangit 118/Oktober 2006, hal 10.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Warta Pustaka) Bekerja Sebagai Polisi

Penerbit: Esensi (Erlangga Group)

Tahun Terbit: Januari 2009

Ukuran buku: 23X15 cm, full color

Jumlah halaman: 144 halaman

Harga: Rp. 48.000

“Pak Polisi, Adek nggak nakal, dia mau tidur siang… Ayo adek tidur siang sebelum Pak Polisi datang!” ancaman dengan nada serupa namun redaksional berbeda seringkali dilontarkan orangtua untuk mendidik anaknya. Polisi identik dengan pembasmi kejahatan masyarakat. Ia mudah ditemui di jalan raya, sering muncul dalam berita kriminal di televisi. Oleh karena itulah sosok polisi sering dipakai orangtua untuk mendisiplinkan anaknya. Orangtua tanpa sadar menanamkan ketidaknyamanan akan profesi polisi di benak anaknya.

Buku Bekerja Sebagai Polisi seolah ingin meluruskan citra negatif profesi polisi tersebut. Buku ini merupakan rujukan bagi remaja yang ingin meniti karier sebagai polisi. Apa dan bagaimana polisi, filosofi, lambang, doktrin, seragam, dan sejarahnya dari zaman prapenjajahan hingga era reformasi di Indonesia lengkap disertai gambar yang menarik. Ulasan profil polisi di luar negeri seperti di Inggris, Jepang, Amerika Serikat juga disajikan sebagai pembanding.

Erma Yulihastin, sang penulis juga menguraikan pendidikan kepolisian, bagaimana polisi beraktivitas pasca pendidikan mulai dari menegakkan peraturan lalu lintassampai bertempur dengan pengacau keamanan. Gambaran suka dan duka dalam menjalankan profesi ini juga disajikan cukup deskriptif. Jenjang pangkat, karier, sampai gajinya pun dijelaskan secara gamblang. Tips lolos tes seleksi dan bocoran soal-soalnya juga ada. Tak lupa wawancara eksklusif profil tokoh polisi Indonesia.

Rancangan sampul buku cukup menarik hati pembaca; warna cokelat muda terlihat harmonis dengan seragam polisi lelaki yang menjadi model sampul buku; membuatnya tampak elegan dan kuat, sehingga enak dipandang. Warna kuning police line yang melintang melatarbelakangi model, mengesankan kecerahan masa depan yang kurang lebih bermakna kemakmuran dan kesejahteraan bagi profesi ini di masa kini dan masa depan. Sampul buku bagai mencerminkan gambaran profesi polisi sebagai yang, “perkasa, kuat, ramah, dan sejahtera.”

Perwajahan isi cukup sempurna: tak ada kesalahan kata. Rancangan halaman dinamis dengan kotak-kotak teks bertabur gambar-gambar penuh warna. Jenis huruf sangat sesuai dengan psikologis remaja, judul bab dan subbab ditulis dengan warna oranye memberi efek lincah nan menawan. Maka dari itu, tidak heran jika pembaca harus mengeluarkan uang cukup mahal untuk mendapatkan buku ini. (Erma-Koko)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati