Archives

Agenda Acara Writing Camp FLP Depok

Hari : Sabtu – AhadRata Penuh
Tanggal : 14 – 15 November 2009
Tempat : Rumah Bang Joey (Citayam City)


Rundown Acara
Sabtu, 14 November 2009
09.30 – 11.30 : Perjalanan ke lokasi
11.30 – 12.00 : Ramah tamah
12.00 – 13.00 : Isoma
13.00 – 13.15 : Pembukaan (oleh ketum FLP Depok)
13.15 – 15.00 : Diskusi dunia penerbitan sesi 1. Tema: Trik Menembus Penerbit.
pembicara: 1. Nurhadiansyah (Penulis, Editor LPPH
2. Azzura Dayana (Penulis, Editor LPPH
Moderator: Denny Prabowo (Penulis, Editor Sastra Balai Pustaka)

15.00 – 15.30 : Shalat dan Coffee Break
15.30 – 16.15 : Pengantar Problem Solving.
Pembicara: Hayati Rahmah, S.Psi (Mahasiswi Pascasarjana UI)

16.15 – 18.00 : Diskusi dunia penerbitan sesi 2 (Tema: Self Publishing.
Pembicara: 1. Nurul . Huda (Penulis, Pengusaha)
2. Lulu Susanti (Penulis, Dai’ah TPI)
Moderator: Dhinny el Fazila (Penulis, Sekretaris Penerbitan)

18.00 – 19.30 : Ishoma
19.30 – 22.00 : Diskusi ke-FLP-an
pembicara: 1. Izzatul Jannah (Penulis, Ketum FLP, GM Penerbitan Balai Pustaka)
2. Trimanto (Penulis, Pengusaha)
Moderator: Koko Nata (Penulis, Editor Zikrul Hakim, Mahasiswa Psikologi UI)
22.00 – 23.00 : Malam ekspersi (pembacaan puisi, cerpen, dll)

Ahad, 15 November 2009
04.00 – 04.30 : Qiyamul Lail
04.30 – 05.30 : Sholat subuh dilanjutkan muhasabah/kultum
05.30 – 06.00 : Olahraga
06.00 – 07.30 : MCK
07.30 – 08.00 : Sarapan
08.00 – 10.00 : Pelatihan Problem Solving (mentor: Koko & Rahmah)
10.00 – 11.00 : Inagurasi Batre 7
11.00 – 12.30 : Pembentukan Panitia Batre 8, Ishoma dan Pengumuman2
13.00 : Pulang

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Mengenal Ketua Umum FLP 2009-2013 (Izzatul Jannah)


Setiawati Intan Savitri, dikenal juga dengan nama pena Izzatul Jannah. Mbak yang biasa disapa dengan panggilan ”Intan” atau ”I-Je” ini lahir di Jakarta, 12 April 1972. Mbak I-Je termasuk aktivis awal FLP. Beliau adalah Ketua FLP Solo periode 1998-2001, kemudian menjadi Ketua FLP Wilayah Jawa Tengah periode 2001-2005. Pada tahun 2005 Mbak I-Je terpilih sebagai salah satu anggota Majelis Penulis FLP, periode 2005-2009. Kebayang kan lumayan ”karatan”nya beliau di FLP...? :D

Mbak I-Je menuntaskan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di Solo. Sekolah Dasar beliau lalui di dua SD, SDN Teladan Ungaran II Yogyakarta dan SDN 1 Karanganyar, Solo. Kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Karanganyar dan SMAN 1 Karanganyar. Selanjutnya Mbak I-Je melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta (1991 – 1996). Pada tahun 2005 Mbak I-Je melanjutkan studi master di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada minat utama Psikologi Sosial, dan lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2007 (IPK 3,95).

Selain dikenal sebagai penulis, sejak lama Mbak I-Je dikenal juga sebagai pekerja LSM. Beliau pernah menjadi Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan anak Pinggiran ”Seroja”, Ketua Divisi Pendidikan Yayasan Miftahul Jannah, serta relawan di Titian Foundation. Pada tahun 2003, Mbak I-Je pernah meraih Muslimah Award kategori Pekerja Sosial dari Solo Pos. Mbak I-Je juga memiliki minat besar dalam bidang Penelitian, Pendidikan, Public Speaking, dan Training.

Soal bekerja, Mbak I-Je bisa dibilang seorang workaholic. Dari menjadi guru, manajer penerbitan, pemred majalah remaja, hingga saat ini beliau mendapat amanah sebagai General Manaje Penerbitan PT Balai Pustaka. Sebagai GM di Balai Pustaka, Mbak I-Je memimpin divisi penerbitan yang terdiri dari 4 departemen buku: Departemen Buku Sastra dan Umum, Departemen Buku Anak, Departemen Buku Pendidikan dan Referensi, Departemen Buku Penyuluhan dan 3 sub departemen supporting: sub dept. Penyimpanan buku, sub.dept.

Saat masa bulan madu fiksi islami, Mbak I-Je banyak melahirkan karya-karya bermutu. Bukan hanya fiksi, Mbak I-Je juga menulis nonfiksi dengan topik utama: Psikologi, Pendidikan, Wanita, Remaja, Keislaman. Daftar lengkap karya Mbak I-Je, silakan lihat di bawah ya.

Mbak I-Je menikah dengan Banu Witono, S.E. Ak. M.Si., dosen dan Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau dikarunia 3 putri: Farhah Kamilatun Nuha (11 tahun), Firna Nahwa Firdausi (9 tahun), dan Fadila Rosyidatul ‘Ala (7 tahun). Setelah sekian tahun menetap di Solo, kini Mbak I-Je dan keluarga tinggal di Jakarta.

Daftar karya Izzatul Jannah:

FIKSI

1. Apa Kabar Cinta? (Era Intermedia Solo, 2001) Novel

2. Setitik Kabut Selaksa Cinta (Era Intermedia Solo, 2001) Novel

3. Padang Seribu Malaikat (Era Intermedia Solo, 2002) Novel

4. Festival Syahadah (Era Intermedia Solo, 2002) Novel

5. Gadis Dalam Kaca (D&D Publishing Solo, 2003) Novel

6. Setangkai Puisi Cinta (D&D Publishing Solo, 2003) Novel

7. Menara Langit (DAR! Mizan Bandung, 2003) Novel

8. Denting Bintang-Bintang (DAR! Mizan Bandung, 2004) Novel

9. Runaway Blues (DAR! Mizan Bandung, 2004) Novel

10. Tarian Bidadari (Pena Jakarta, 2005) Novellet

11. Edelweiss (Fatahillah Bina Al Fikri Jakarta, 2005) Novel

12. Cahaya di atas Cahaya (Asy-Syaamil Bandung, 2000) Kumpulan Cerpen

13. Berjuta Hidayah (Asy-Syaamil Bandung,2000) Kumpulan Cerpen

14. Gadis di Ujung Sajadah (Fatahillah Bina Al-Fikri Jakarta, 2002) Kumpulan Cerpen

15. Perempuan Suamiku (Asy-Syaamil, Bandung) 2003

16. Hingga Batu Bicara (Bersama Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, Asy-Syaamil, 1999) antologi cerpen bersama

17. Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) antologi cerpen bersama

18. Luka Tlah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002) antologi cerpen bersama

19. Bulan Kertas (FBA Press, 2003) antologi cerpen bersama

20. 17 Tahun (FBA Press, 2005) antologi cerpen bersama

21. Perempuan Bermata Lembut (FBA Press, 2005) antologi cerpen bersama

22. Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, antologi cerpen bersama FLP Jawa Tengah, (Indiva Media Kreasi, 2008)



NONFIKSI REMAJA:

1. 10 seri pengembangan pribadi remaja: diterbitkan Era Intermedia, 2002

2. Kado buat Sahabat

3. Every Day is ”PD” Day

4. How to be a Winner

5. Easy Going No Way

6. Nge-gank sama Mami Papi

7. Be new You!

8. Bincang-bincang Ramalan Bintang

9. Histeria Sang Idola

10. Selamat Datang di Kerajaan Cinta

11. Nih Dia, Zona Pembelajar

12. Be a Super Star, panduan remaja untuk sukses D&D Publishing,2005

13. Be Different, panduan remaja untuk sukses D&D Publishing, 2005

14. Remaja Gila Baca, panduan remaja suka membaca FBA Press, 2006



BUKU ANAK:

1. Serial Khalid, Era Intermedia, 2003

2. Farah dan Kursi Ajaib, D&D Publishing

3. Puisi Hening, PT. Tiga Serangkai, 2006

4. Lukisan Terindah, PT. Tiga Serangkai, 2006

5. Binder Istimewa, PT. Tiga Serangkai, 2006



NONFIKSI DEWASA:

1. Diary Pengantin, Asy-Syaamil, 2003

2. Karena Cinta Harus Diupayakan, Asy-Syaamil 2004

3. Mengeja Cinta dalam Nama-Nya, Asy-Syaamil 2005

4. Rumah Penuh Cinta, Indiva Media Kreasi, Surakarta 2007

5. PsikoHarmoni, Indiva Media Kreasi, Surakarta

6. Akan terbit 10 Bersaudara Hafal Al-Qur’an, Syqma ArkanLeema, 2009

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Ngabuburit di Yayasan Ibu Harapan

Riuh suasana masjid yang berada di komplek Yayasan Ibu Harapan (YIH), ketika Denny Prabowo, kordinator demisioner Rumah Cahaya (RC) dan N urul F. Huda, penulis senior Forum Lingkar Pena (FLP), tiba di lokasi. Hari itu memang ada kegiatan Pesantren Kilat (sanlat) dan buka bersama dengan anak-anak yatim dan kaum duafa. Dhinny el Fazila, sekretaris merangkap bendahara demisioner RC yang sudah lebih dulu sampai mengajak mereka bertemu dengan Indih, salah seorang pengurus YIH.

Setelah berkoordinasi, para peserta sanlat pun dipindah ke perpustakaan YIH. Semula ajang ini memang akan dimanfaatkan untuk silaturahmi pengurus FLP dengan YIH, sekaligus membicarakan progam kerja sama antara YIH dengan FLP. Rencana pemugaran RC oleh Tabung Wakaf Indonesia (TWI), membuat properti RC yang berupa lemari dan buku-buku harus dipindahkan ke perpustakaan milik YIH, yang menjadi awal dari kerja sama YIH dengan RC.

Namun, ternyata panitia sanlat meminta FLP untuk memberi pelatihan menulis kepada peserta sanlat. Nurul F. Huda bersama Hikaru, yang datang belakangan, memandu acara pelatihan tersebut. Sementara Denny dan Dhinny membicarakan rencana pembukaan kelas menulis untuk anak yatim dan duafa serta pelatihan menulis bagi santriwati yang mondok di asrama YIH.

Menjelang magrib, pelatihan bagi peserta sanlat pun selesai, dan YIH dengan RC menyepakati kerja sama program kelas menulis yang rencananya akan dimulai selepas Idul Fitri. Nurul F. Huda yang hari itu membawa serta anaknya memilih untuk kembali ke rumah, berbuka puasa dengan keluarga. Begitu juga Denny yang kebetulan rumahnya tak jauh dari lokasi YIH. Sedangkan Dhinny dan Hikaru ikut berbuka puasa dengan anak-anak yatim dan kaum duafa yang tinggal di sekitar YIH. (Dhe Zha Voe)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Bengkel Menulis) Dari Mana Datangnya Ide


Disusun oleh: Denny Prabowo

Seorang
penulis sudah semestinya adalah seorang pengamat. Penulis baik adalah pengamat yang baik. Pengamat yang baik selalu peka dan tertarik pada segala hal. Ketertarikan seorang penulis pada objek yang dianggap remeh dan biasa oleh sebagian orang, membuatnya tak akan pernah kehabisan cerita. Seperti menimbun ide di lumbung imaji.

Seorang penulis pernah berucap kalau dia tidak suka menulis tentang terminal atau pasar, karena menganggap tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Bisa jadi dia bukan seorang yang kurang akrab dengan kehidupan di kedua tempat itu. Demikianlah sesungguhnya penulis itu tengah membangun jeruji besi yang siap memenjarakan imajinya. Tidak perlu heran apabila kelak penulis itu akan sering mengeluh tidak memiliki ide cerita untuk ditulisnya, karena dia—sadar maupun tidak sadar—telah membatasi cakrawala imajinya.

Bagaimana mungkin kita bisa menjadi pengamat yang baik, yang memiliki kepekaan, kalau kita membatasi ketertarikan pada sesuatu. Padahal, menjadi pengamat yang baik adalah kunci menjadi penulis yang baik, yang dengannya kita tak akan pernah kehabisan ide cerita untuk dituliskan.

Begitu banyak peristiwa terjadi di sekitar kita, dan kesemuanya adalah sumber cerita. Yang perlu dilakukan oleh seorang penulis hanya membuka mata dan telinga, biarkan imajinasi menyelesaikan tugasnya. Ada bermacam cara mendapatkan sumber cerita.

  1. Pengalaman

Banyak pengarang mengatakan bahwa kita dapat menemukan cerita dari mana saja. Sumber terbaik cerita fiksi adalah pengalaman. Pengalaman ini tidaklah harus pengalaman pribadi. Bisa juga bersumber dari pengalaman orang lain.

Hamsad Rangkuti menulis cerpen “1000? 500? 1000?” berdasarkan pengalaman ketika dia naik bis kota. Waktu itu ongkos bus lima puluh rupiah. Dia memberikan lembaran seribu, tapi kata kenek waktu mengembalikan kembalian, berkeras kalau dia menyerahkan lembaran limaratus. Terjadi pertengkaran. Kenek tetap pada pendiriannya, begitupun dengan Hamsad Rangkuti.

Pengalaman adalah harta berharga bagi seorang penulis. Berapa usia anda? Ingat-ingat apa saja yang pernah anda alami, lalu tuliskan. Maka anda telah menyelesaikan sebuah cerita.

  1. Pandangan Selintas

Suatu kali Hamsad Rangkuti melihat dari jendela bis seorang lelaki menekan kawat sinyal di sisi rentangan rel. Pada saat rentangan kawat sinyal itu ditekan, seorang wanita yang mengenakan kebaya melangkah di atas rentangan kawat sinyal itu. Setelah melintas wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang berada di sebelah tempat duduk si lelaki. Cuma itu yang dilihat Hamsad Rangkuti, sementara bis yang ditumpanginya tetap melaju. Dan dari pandangan selintas itu lahirlah sebuah cerpen berjudul: “Hukuman untuk Tom”.

Seekor anjing yang mengorek-korek bak sampah bisa jadi merupakan pemandangan biasa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi penulis yang memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi menjadi sangat tidak biasa sebab cakrawala imajinya akan mengajaknya segera berandai-andai.

Seandainya saja, seekor anjing yang mengorek-korek bak sampah itu tiba-tiba menemukan sebuah kardus berisi bayi, atau bisa saja anjing itu menemukan potongan tubuh. Dari pandangan selintas terhadap sebuah peristiwa yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang itu, kita telah mendapatkan sebuah plot (rancangan cerita). Kemudian muculkan pertanyaan-pertanyaan. Semisal, apakah bayi di dalam kardus itu masih hidup? Atau sudah mati? Siapa yang membuangnya di tempat itu? Mengapa bayi itu harus dibuang? Apa yang kemudian dilakukan anjing itu? Dan ketika kita telah mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kita susun, maka sebuah cerita telah selesai kita tuliskan.

  1. Berita

Dalam sebuah workshop kepenulisan, Hamsad Rangkuti mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah bahasa”. Hampir setiap hari kita melihat tayangan berita di televisi, membaca di koran, atau mendengarkan di radio. Ada anak membunuh bapaknya, ada paman memerkosa keponakannya, ada perampok nasabah ditembak kakinya, ada artis dipenjara karena kasus narkoba, ada anak kecil mencoba gantung diri karena belum membayar uang sekolah, ada sebuah desa terendam banjir, ada rumah teruruk longsoran sampah, ada pembantu disiksa majikannya, ada artis dipanggil polisi karena foto bugilnya. Begitu banyak peristiwa yang kita dapat dari media massa. Kita hanya perlu memilihnya satu saja untuk dijadikan cerita.

Dalam sebuah wawancara majalah dengan Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carrascalao, didapatlah sebuah fakta:

Pada akhir oktober saya menerima empat pemuda di ruangan saya, di antara mereka ada dua orang yang telinganya dipotong. Mereka suatu hari duduk di atas jembatan. Tiba-tiba muncul lima orang, tiga orang asal Timtim dan dua orang berasal dari luar Timtim. Langsung menangkap pemuda itu, dipukuli, dan telinganya dipotong.

Bagi seorang penulis, laporan semacam ini menantang untuk digarap menjadi sebuah cerita. Diapakan telinga-telinga yang dipotong itu? Maka Seno Gumira Ajidarama menuliskan sebuah cerita berjudul “Teling”, kisah seorang serdadu yang suka mengirimkan telinga kepada pacarnya, dan betapa bangga pacarnya menerima telinga-telinga itu.

  1. Mitos

Begitu banyak mitos di negeri ini yang bisa digarap menjadi sebuah cerita. Salah satunya adalah mitos tentang kupu-kupu yang selalu dikaitkan dengan kedatangan seorang tamu. Dari mitos tersebut lahirlah sebuah cerita dari tangan Seno Gumira Ajidarama, “Ada Kupu-kupu, Ada Tamu”, yang berkisah tentang sebuah rumah yang suatu hari kedatangan kupu-kupu. Pemilik rumah lantas mempersiapkan perjamuan karena yakin kalau hari itu bakal datang seorang tamu ke rumahnya.

Masih banyak mitos-motos lain yang bisa digarap menjadi cerita. Mitos tentang burung gagak, misalnya. Keberadaan burung gagak sering dikaitkan dengan berita kematian. Suatu kali seekor gagak hinggap di atap rumah seorang warga. Seorang tetangganya melihat hal itu. Dia yakin sekali kalau mitos itu benar. Dia memeringati pemilik rumah itu agar berhati-hati. Tetapi pemilik rumah itu tidak percaya dengan mitos. Tetangganya itupun menguntit ke manapun pemilik rumah itu pergi untuk membuktikan mitos itu benar. Tapi sampai sebuah mobil menerjang tubuhnya saat dia berusaha menyusul pemilik rumah menyeberang jalan, dia belum berhasil membuktikan kebenaran mitos itu.

  1. Dongeng

Berapa banyak dongeng yang pernah ada dengar? Dongeng-dongeng yang pernah anda dengar merupakan sumber cerita potensial yang bisa digarap. Pilih saja salah satu, lalu tuliskan kembali dengan melakukan perubahan pada ending cerita, atau bahkan memutar balikkan logika.

Bagaiman sendainya pangeran tampan tak pernah menemukan sepatu kaca milik Cinderella? Atau bagaimana seandainya saja sepatu kaca yang ditemukan pangeran ternyata cukup saat dipakai oleh saudara tiri Cinderella? Lalu bagaimana jika Jaka Tarub salah mencuri selendang Nawangwulan, bidadari yang ditaksirnya, dengan selendang milik bidadari lainnya? Atau malah Jaka tarub tak pernah mencuri selendang milik Nawangwulan, padahal bidadari itu berharap sekali selendangnya dicuri? Pertanyaan-pertanyaan itu akan mengantarkan anda pada sebuah cerita yang baru.

  1. Mencuri dari Buku

Dalam sebuah workshop teater, Slamet Raharjo Jarot mengatakan, bahwa karya yang telah dipublikasi bebas ditafsir ulang oleh pembaca. Kalau karya kita tak mau ditafsir orang, maka simpan saja di dalam lemari. Begitu banyak kisah cinta masa kini yang dituliskan berdasarkan karya Sakespear, Romeo dan Juliet. Bahkan kisah Romeo dan Juliet pun disinyalir terinspirasi dari kisah Laila Maj’nun.

Sapardi Djoko Damono menafsir ulang karya Samuel Backett yang sangat ternama, “Waiting for Godot” . Dalam naskah drama itu, Samuel backett beranggapan bahwa manusia menunggu maut. Sapardi memutar balikkan logikanya, bukan manusia yang menunggu maut, tapi manusia yang ditunggu oleh maut lewat cerpennya, “Ditunggu Dogot”

  1. Sejarah

Sejarah merupakan catatan sebuah peristiwa. Oleh sebabnya dia telah memenuhi unsur sebuah cerita. Kita bisa menghadirkan sejarah ke dalam cerita yang kita tulis dengan menghadirkan tokoh fiktif. Misalnya saja catatan sejarah tentang G30S PKI. kita bisa menceritakan malam pembantaian 7 jendral itu lewat sudut pandang orang yang melakukan penyiksaan. Atau kita bisa membayangkan diri kita sebagai Ade Irma Suryani, yang turut menjadi korban dalam peristiwa itu.

Begitu banyak cerita yang mengambil latar sejarah. Salah satunya film “Kingdom of Heaven” yang mengambil latar sejarah perang salib di Jerusalem. Di Indonesia sendiri kita memiliki film “Cut Nyak Dien”. Yang mungkin paling terkenal adalah sejarah tenggelamnya kapal Titanic. Peristiwa sejarah itu mengantarkan kita pada sebuah kisah cinta yang lebih kurang seperti Romeo dan Juliet, tentang cinta yang dipertentangkan karena status sosial yang berbeda. Kehidupan di dunia telah berlangsung begitu lama, sejak jaman Adam as., sampai sekarang, telah begitu banyak peristiwa yang dicatatkan sebagi sebuah sejarah. Dari satu peristiwa sejarah saja, kita bisa membuat bermacam cerita lewat sudut pandang berbeda-beda.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Bengkel Menulis) Latar Sebagai Potret Tokoh

Oleh: Denny Prabowo


Berapa banyak cara untuk menggambarkan mata dan hidung, jika kita tidak mengandalkan metafora? Tidak banyak. Tidak mudah memang menemukan kata-kata yang variatif untuk menggambarkan fisik seseorang. Sedangkan penggunaan kata sifat untuk menggambarkan karakter seseorang bukanlah hal yang bisa dikatakan cerdas. Namun, melalui cara seseorang menata lingkungannya, kita bisa mendapatkan gambaran karakter dari orang tersebut.

Dalam Dead Souls, Nikolai Gogol menggunakan barang-barang dalam ruangan keluarga untuk menjelaskan karakter seorang tokoh:

Sebuah jeruk yang benar-benar mengering, dan tidak lebih besar dari sebuah pegangan kursi dari kayu kenari yang telah rusak; gelas anggur yang ditutupi sehelai surat, berisi semacam cairan dan tiga ekor lalat;... sebuah tusuk gigi, yang sudah menguning, dan mungkin telah digunakan oleh pemiliknya untuk membersihkan giginya sebelum kedatangan Prancis di Moskow... dari tengah langit-langit tergantung sebuah lampu hias yang terbungkus kain linen, yang diselimuti debu yang berkumpul sedemikian banyaknya, memberikan kesan seakan-akan kepompong ulat sutra dengan seekor ulat di dalamnya. ...Sangat tidak mungkin membenarkan bahwa ada makhluk hidup menempati aparteman itu, apabila tidak tampak sebuah topi tidur kuno yang sudah teruirai benangnya, tergeletak di atas meja, yang menjadi saksi.

Latar ruangan itu memberikan kita sesosok tokoh, seorang yang kikir. Sajian ini diperkuat oleh perincian lainnya.

Bagi semua pelayan rumahnya... Pliushkin hanya menyediakan sepasang sepatu lars, yang bisa ditemukan di ruang depan. Siapa pun yang dipanggil; menghadap sang tuan biasanya berlari menyeberangi halaman dengan bertelanjang kaki; namun sesaat sebelum memasuki ruang depan, dia memakai sepatu lars itu dan, setelah rapi, muncul dalam ruangan. ...Jika kita melihat ke luar jendela pada musim gugur, terutama pada pagi hari saat embun mulai membeku, kita akan dapat melihat semua budak di rumah itu berlompatan yang bahkan tak pernah diperagakan oleh penari kawakan di luar pentas.

Penggambaran tokoh yang kikir dalam Deadsouls karya Nikolai Gogol ini jelas lebih baik daripada penggunaan sekumpulan kata sifat. Gambarkanlah tokoh dengan beraneka ragam benda yang ada di sekelilingnya.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Warta Penerbit) Penerbit Zenith

Kesempatan selalu datang berulang kali bagi yang mau berpikir. Zenith mengundang penulis bermutu untuk bergabung memberikan rasa manfaat untuk orang lain. Silakan bergabung bersama Zenith!

  1. Karya Penulis Cilik. Ditulis oleh anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Bisa berbentuk novel, petualangan atau komik. Panjang naskahnya minimal 35 lembar spasi 1,5. Maksimalnya berapa? Setebal dan sekuat kamu, Nak….
  2. Naskah Remaja. Berbentuk fiksi atau non fiksi. Bisa tentang petualangan, kisah hidup yang bermakna, cinta usia muda, komik remaja. Lebih diutakan dengan gaya teens dan hip hip hura. Panjang naskah minimal 35 halaman, spasi 1,5. Maksimal ketebalan terserah kamu!
  3. Fiksi. Bisa berbentuk roman, epik, humanis, dsb. Diutamakan yang bersetting budaya kuat. Lebih disukai kisah-kisah dari negeri Islam yang bergeliat atau perjuangan kaum muslim di negaranya. Bisa juga kisah-kisah lucu atau komik petualangan dan fiksi-fiksi plesetan. Tebal minimal 150 halaman spasi 1,5. Font 12, book antique. Tebal maksimal tidak ditentukan. Silakan berkreasi sekeras mungkin!
  4. Non Fiksi. Bertema bebas. Bergenre bebas. Berciri khas bebas pula. Tebal naskah minimal 75 halaman, spasi 1,5, font 12 book antiqua.
  5. Naskah keluarga. Mengangkat tema-tema pendidikan anak dan keluarga.
    Tebal minimal 65 halaman, spasi 1,5, font 12 book antiqua.


JANGAN LUPA!

# Lampirkan data dirimu selengkap-lengkapnya. Nama, alamat, imel,
blog, HP dan sebagainya.

# Bagi yang mengirimkan naskah print out, sertakan soft copynya.

# Naskah bisa dikirim via imel.

# Naskah yang masuk menjadi milik Zenith Publishing.

TAWARAN DARI ZENITH

> Sistem per janjian yang jelas dan bertanggung jawab, terkait dengan royalty dan hak-hak penulis lainnya.

> Naskah akan ditanggapi maksimal dua bulan. Dan bagi naskah bermutu, kami segera menghubungi secepat Anda mengirimkannya.

ZENITH: MARI MENAPAK BERSAMA!

Kantor: Jalan Kelud 143 Rt 01 RW 04 Kandangan – Kediri –Jatim
Telp/fax : (0354) 326139 – (0354) 528489

Email: rumahzenith.publishing@gmail.com

SMS Centre: 0856 55767132

SEMANGAT!

(Sumber: milis Forum_lingkarpena)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Dari Orwell sampai Mahbub

:Biografi Mahbub Djunaidi
Oleh: Noor H. Dee


Sebelumnya saya tidak pernah mengenal lelaki itu. Jangankan mengenal, mendengar namanya saja belum pernah. Hidup saya sudah bising. Di kehidupan saya, orang-orang datang dan pergi semaunya. Muncul dan menghilang begitu saja. Sampai akhirnya saya pun menganggap bahwa pertemuan dan perpisahan itu sama saja. Tak ada yang perlu diistimewakan pada setiap pertemuan, dan tak ada yang perlu ditangisi pada setiap perpisahan. Pertemuan dan perpisahan adalah mahluk yang sama. Itu sebabnya, meskipun saya tidak mengenal lelaki itu, saya merasa biasa saja. Lebih tepatnya: tidak peduli. Lagi pula—dan ini yang lebih penting—lelaki itu sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi, apa pentingnya mengenal seseorang yang sudah lama meninggal?

Saya tetap menjalani kehidupan ini seperti biasa, tanpa peduli dengan lelaki itu. Dan memang sudah seharusnya seperti itu. Hingga akhirnya segalanya pun berubah. Tiba-tiba saja saya jadi peduli dengan lelaki itu dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang dirinya. Semua perubahan itu bermula dari Ayah saya, yang mengaku kenal dengan lelaki itu.

“Ini dulu teman Ayah, Di.” Begitu kata Ayah saya, yang usianya sudah 77 tahun, sambil menunjuk sebuah nama yang tertera di dalam lembar halaman majalah sastra Horison. Nama itu bertuliskan: Mahbub Djunaidi

Di titik inilah akhirnya saya berkenalan dengan lelaki yang sudah lama meninggal itu, yang sebelumnya tidak saya kenal dan memang tidak pernah saya pedulikan. Seandainya Ayah saya tidak pernah berkata “Ini dulu teman Ayah, Di.” kepada saya, barangkali tulisan ini tidak akan pernah ada.

Ya. Lelaki itu bernama Mahbub Djunaidi. Ia adalah seorang jurnalis, kolomnis, dan sastrawan yang namanya sudah lumayan sering diperbincangkan. Ia lahir di Jakarta, 27 Juli 1933 dan meninggal di Bandung, 1 Oktober 1995. Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1948, tepatnya ketika masa revolusi fisik terjadi, Mahbub mengungsi ke Solo. Di kota ini ia lulus SD dan masuk SMP (kelas 1), juga sempat belajar di Madrasah Mambaul Ulum.

Mahbub Djunaidi adalah seorang sastrawan, meskipun ia tidak menulis banyak karya sastra, tapi kekhasan yang dimiliki olehnya bisa dikatakan tidak biasa. Novel pertamanya berjudul Dari Hari ke Hari, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975. Novel itu berkisah tentang revolusi kemerdekaan yang tokohnya adalah seorang kanak-kanak. Dalam tulisannya yang berjudul Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan mengatakan bahwa penggunaan tokoh kanak-kanak di dalam novel Dari Hari ke Hari bisa ditafsirkan sebagai simbol bahwa Republik Indonesia yang masih baru lahir sama wujudnya dengan kanak-kanak yang polos dan lugu. Pengalaman-pengalaman revolusi yang spektakuler itu disejajarkan dengan pengalaman kanak-kanak yang mengalami perubahan dari saat ke saat hingga mencapai kestabilan.[1] Novel Dari Hari ke Hari menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1975.

Sampai di sini saya mulai tertarik dengan lelaki itu. Ya, ternyata lelaki itu memiliki sudut pandang yang tidak biasa, yang mungkin hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Menganalogikan Republik Indonesia yang baru saja merdeka dengan seorang kanak-kanak adalah sebuah analogi yang jarang sekali terpikirkan oleh orang banyak. Dan lelaki itu, Mahbub Djunaidi, telah melakukannya. Hebat. Begitu kata saya. Lantas saya pun kembali tercebur lebih dalam untuk kembali mengenal lebih jauh tentang lelaki yang ternyata dulunya adalah teman Ayah saya itu.

Setelah novel Dari Hari ke Hari terbit, Mahbub Djunaidi kembali menerbitkan novel berikutnya yang berjudul Angin Musim, diterbitkan oleh PT Inti Idayu Press, pada tahun 1985. Tidak kalah dengan novel sebelumnya, Angin Musim adalah novel satir yang tokohnya adalah seekor kucing jalanan. Dalam novel itu Mahbub dengan lincahnya menulis segala macam bentuk situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu (Orde Baru), lewat sudut pandang seekor kucing. Dilihat dari sudut ini, Agus R. Sarjono, penyair sekaligus redaktur Majalah Horison, mengatakan bahwa mungkin Mahbub Djunaidi adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan sudut pandang seekor binatang.

Dalam novel Angin Musim ini, saya tertarik dengan percakapan di bawah ini:

“Boleh saya ambil kucing ini?” tanya (dua orang berpakaian dril berwarna kuning—pen) kepada para pedagang yang terheran-heran.

“Dipersilakan dengan hormat,” jawab tukang daging.

“Lebih bagus lagi kalau kucing yang ada di pasar ini diangkat semua kemudian dicemplungkan ke dalam samudera,” kata tukang ikan.

“Makhluk keparat itu lebih jahat dari babi. Babi tidak mencuri, tapi kucing dari negeri mana pun bisa mencuri apa saja, termasuk sapu tangan kita,” sahut pedagang tahu.

“Apakah kucing ini kesayangan mandor pasar, atau barangkali Komandan Hansip?” tanya orang berpakaian dril itu.

“Kesayangan mandor pasar? Tentu saja bukan. Mandor pasar tidak sempat memikirkan apa pun kecuali memungut pajak tempel. Kucing itu yatim piatu dalam arti kata sebenar-benarnya. Pokoknya Bapak-bapak akan memperoleh pahala berlimpah-limpah jika sudi menyingkirkan binatang busuk itu dari sini,” seru mereka serempak seakan keluar dari satu tenggorokan.

Sampai di sini saya tertawa-tawa. Saya tidak pernah terpikir sampai ke situ. Kucing, yang konon katanya adalah binatang kesayangan nabi, ternyata tak lebih dari binatang celaka yang sangat dibenci oleh para penghuni pasar. Dalam novel itu diceritakan, setelah itu kucing sial itu pun dimasukan ke dalam karung semen untuk kemudian pertualangan pun dimulai.

Novel Angin Musim karya Mahbub Djunaidi ini membuat saya teringat dengan novel Animal Farm karya George Orwell. Jika Angin Musim tokohnya hanya seekor binatang saja, yaitu: kucing. Dalam Animal Farm bisa dikatakan tokohnya binatang semua. Animal Farm berkisah tentang para binatang yang hidup dalam sebuah Peternakan Hewan, yang semua binatang itu ingin melakukan revolusi bagi masa depan yang lebih baik, tapi sayangnya harus berakhir tragis dalam kendali kaum mereka sendiri. Animal Farm adalah fabel satir yang ditulis untuk mencemooh komunisme, yang dimana sebuah masyarakat hidup di bawah satu komando sang diktator yang semula dianggap sebagai pahlawan.

Dan saya tidak keliru. Ternyata Mahbub Djunaidi memang penggemar George Orwell, seorang sastrawan satiris yang terkenal di dunia. Bahkan, Mahbub Djunaidi pun pernah menerjemahkan Animal Farm karya George Orwell ini ke dalam bahasa Indonesia, yang judulnya menjadi: Binatangisme. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya sastra asing lainnya ke dalam bahasa Indonesia, seperti: Di Kaki Langit Gunung Sinai (karya Mohamed Heikal, 1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (karya Michael H. Hart, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (karya Jules Verne, 1983), Cakar-Cakar Irving (karya Art Buchwald, 1982), Lawrence dari Arabia (karya Philiph Knightly, 1982), dan lain-lain.

Selain menjadi sastrawan, sebenarnya Mahbub Djunaidi adalah seorang jurnalis. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat (1960-1970), wakil pimpinan Kantor Berita Antara, wakil ketua PWI Pusat (1963-1964), ketua PWI Pusat (1965-1970), anggota Dewan Pers (1971-1978), dan ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1971-1979). Bahkan, pada tahun 1978-1979 ia sempat ditahan oleh rezim Orde Baru lantaran tulisan-tulisannya yang tajam.[2] Bahkan, ternyata Mahbub Djunaidi pun aktif di dalam dunia politik, dan pernah menjadi anggota DPR/MPR RI (1960-1970).

Sebenarnya Mahbub Djunaidi juga menulis cerpen, tapi sayangnya hingga sekarang cerpen-cerpennya itu belum pernah ada yang dibukukan. Ia juga menerbitkan dua buku kumpulan esai mengenai jurnalistik: Kolom Demi Kolom (1986), dan Humor Jurnalistik (1986).

Fiiiuuuhhh. Sampai di sini saya menghela nafas panjang. Ternyata lelaki itu memang sungguh luar biasa. Seandainya saya memiliki mesin waktu, saya ingin sekali kembali ke masa lampau agar bisa berjumpa dengan dirinya, untuk kemudian berkata kepadanya: “Ajarkan saya agar bisa menjadi orang hebat seperti anda”. Ya, saya ingin belajar banyak dari Mahbub Djunaidi. []



[1] Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan, Majalah Sastra Horison/Kakilangit 118/Oktober 2006. hlm 8

[2] Sastrawan, Jurnalis, Sekaligus Politikus, Korrie Layun Rampan, Majalah Horison, Kakilangit 118/Oktober 2006, hal 10.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Warta Pustaka) Bekerja Sebagai Polisi

Penerbit: Esensi (Erlangga Group)

Tahun Terbit: Januari 2009

Ukuran buku: 23X15 cm, full color

Jumlah halaman: 144 halaman

Harga: Rp. 48.000

“Pak Polisi, Adek nggak nakal, dia mau tidur siang… Ayo adek tidur siang sebelum Pak Polisi datang!” ancaman dengan nada serupa namun redaksional berbeda seringkali dilontarkan orangtua untuk mendidik anaknya. Polisi identik dengan pembasmi kejahatan masyarakat. Ia mudah ditemui di jalan raya, sering muncul dalam berita kriminal di televisi. Oleh karena itulah sosok polisi sering dipakai orangtua untuk mendisiplinkan anaknya. Orangtua tanpa sadar menanamkan ketidaknyamanan akan profesi polisi di benak anaknya.

Buku Bekerja Sebagai Polisi seolah ingin meluruskan citra negatif profesi polisi tersebut. Buku ini merupakan rujukan bagi remaja yang ingin meniti karier sebagai polisi. Apa dan bagaimana polisi, filosofi, lambang, doktrin, seragam, dan sejarahnya dari zaman prapenjajahan hingga era reformasi di Indonesia lengkap disertai gambar yang menarik. Ulasan profil polisi di luar negeri seperti di Inggris, Jepang, Amerika Serikat juga disajikan sebagai pembanding.

Erma Yulihastin, sang penulis juga menguraikan pendidikan kepolisian, bagaimana polisi beraktivitas pasca pendidikan mulai dari menegakkan peraturan lalu lintassampai bertempur dengan pengacau keamanan. Gambaran suka dan duka dalam menjalankan profesi ini juga disajikan cukup deskriptif. Jenjang pangkat, karier, sampai gajinya pun dijelaskan secara gamblang. Tips lolos tes seleksi dan bocoran soal-soalnya juga ada. Tak lupa wawancara eksklusif profil tokoh polisi Indonesia.

Rancangan sampul buku cukup menarik hati pembaca; warna cokelat muda terlihat harmonis dengan seragam polisi lelaki yang menjadi model sampul buku; membuatnya tampak elegan dan kuat, sehingga enak dipandang. Warna kuning police line yang melintang melatarbelakangi model, mengesankan kecerahan masa depan yang kurang lebih bermakna kemakmuran dan kesejahteraan bagi profesi ini di masa kini dan masa depan. Sampul buku bagai mencerminkan gambaran profesi polisi sebagai yang, “perkasa, kuat, ramah, dan sejahtera.”

Perwajahan isi cukup sempurna: tak ada kesalahan kata. Rancangan halaman dinamis dengan kotak-kotak teks bertabur gambar-gambar penuh warna. Jenis huruf sangat sesuai dengan psikologis remaja, judul bab dan subbab ditulis dengan warna oranye memberi efek lincah nan menawan. Maka dari itu, tidak heran jika pembaca harus mengeluarkan uang cukup mahal untuk mendapatkan buku ini. (Erma-Koko)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Seorang Pejuang Kesenian yang Getir dan Sepi

Oleh: Denny Prabowo



: biografi Trisno Sumardjo

(1916—1969)


Sebuah buku usang di atas meja kantorku, Kata Hati dan Perbuatan (Balai Pustaka, 1952). Aku hampir tak pernah membacanya, kecuali sekadar membolak-balik halaman demi halamannya yang kertasnya tak lagi putih. Sampai aku membaca artikel “Surrealisme” yang ditulis oleh H.B. Jassin (1953: 22). Ia menyebut salah satu dramamu dalam buku usang di atas meja kantorku. “Tumbang” judul karanganmu itu, yang oleh Jassin disebut drama bergenre surealisme. Aku membuka-buka buku usang itu, mencari drama yang dimaksud. Lalu membacanya. Ah, aku seperti merasakan kegelisahanmu. Kegelisahan seorang pengarang bernama Trisno Sumardjono yang dilahirkan di Tarik, Surabaya, 6 Desember 1916. Ayahmu bernama Mohammad As’ari, seorang guru bantu. Ia menyekolahkanmu di MULO hingga tamat pada tahun 1933-an. Kemudian kau melanjutkan ke AMS II (Barat Klasik) di Yogyakarta.

Setamat dari AMS. Kauikuti jejak ayahmu menjadi guru partikelir di kota Jember, Jawa Timur (1938—1942). Ketika Tentara Jepang menduduki Pulau Jawa, kau hijrah ke Madiun untuk bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api (1942—1946). Di kota penghasil brem inilah kau mulai tertarik dengan dunia sastra, seperti yang tertuang dalam drmamu, “Dokter Kambudja”. Namun, di awal kemerdekaan (1947), kautinggalkan pekerjaan yang membuatmu merasa terbebani, selain karena bukan bidang yang kaugemari, juga karena sikap tentara Jepang yang kejam. Lalu kautinggalkan Madiun, kautinggalkan seorang gadis yang kelak akan menjadi pendamping hidupmu. Kota Solo menjadi persinggahanmu yang berikutnya. Di kota pusat kebudayaan inilah kau bertemu dengan teman-teman seniman, lalu mendirikan majalah Seniman. Selama kurang rentang tahun 1947—1948 kau menjadi redaktur di majalah tersebut. Namun, Solo tak mampu menampung luapan kreativitas kesenianmu. Awal tahun 1950 kauputuskan untuk hijrah ke Jakarta, ibukota negara yang mulai berbenah diri sehabis revolusi fisik. Di Jakarta kau memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris redaksi di majalah kebudayaan Indonesia pada tahun 1950. Pada tahun yang sama di bulan Juli, kau dipercaya sebagai Sekretaris Lembaga Kebudayaan. Setahun kemudian kau menikahi gadis pujaanmu di kota Madiun, Sukartinah.

Kalau ada keberuntungan di dalam hidupmu, mungkin karena gadis kelahiran Surabaya 23 Juni 1924 bernama Sukartinah, yang kaunikahi pada 18 Maret 1951. Pendamping hidup yang memberimu dua orang putra bernama Lestari (1955) dan Budi Santoso (1956).

Prinsip kesenian bukanlah alat mengejar materi ternampak dari kehidupan rumah tanggamu yang sederhana. Beruntunglah dirimu memiliki pendamping hidup yang begitu memahami dan menerima pribadimu yang keras memegang prinsip-prinsip hidup. Begitu kerasnya hingga sering menimbulkan kesan kaku di antara teman-temanmu.

Selepas dari pekerjaanmu di majalah Indonesia tahun 1952, kau mendapat beasiswa visitorship rockefeller. Selama enam bulan kau mengunjungi Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Pernah pula kau bekerja sebagai redaktur majalah Seni di tahun 1954. Di tahun itu pulalah istrimu mengandung, kemudian melahirkan seorang putri yang kaunamai Lestari pada 15 April 1955. Ketegangan yang kau rasakan selama proses kelahiran putrimu sungguh memukaumu, sebuah cerpen pun lahir dari tanganmu yang terhimpun dalam buku Rumah Raya (1957). Setahun kemudian, di tanggal 15 Juni 1956, putra keduamu yang kauberinama Budi Santoso, hadir kedunia. Dan dari kelahirannya, lahir pula cerpenmu yang kaujuduli, “Asran”. Di tahun kelahiran putramu itu, kau dipercaya sebagai Sekretaris Umumu Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN).

Kurang lebih setahun setelah putra keduamu lahir, 1957, kaukunjungi Negeri Tiongkok sebagai ketua delegasi sastrawan Indonesia dalam studi sastra banding. Tahun 1961 State Departement USA mengundangmu ke Amerika. Di tahun yang sama, sebagai seorang pelukis, kau menggelar pameran tunggal.

September 1963, tepatnya di tanggal 17 Agustus, bersama teman-teman seniman yang sepemikiran denganmu, kau turut mencetuskan Manifestasi Kebudayaan. Gerakan kebudayaan yang membuatmu harus berkonfrontasi dengan orang-orang Lekra. Pada tanggal 18 Mei 1964, Presiden Soekarno yang secara ideologis dekat dengan Lekra menyatakan gerakan Manifestasi Kebudayaan sebagai gerakan yang terlarang. Kalian bahkan tak dibolehkan menulis di media baik yang beredar di ibukota maupun di daerah. Sampai Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, pelarangan itu pun dicabut. Dan situasi berbalik bagi anggota-anggota Lekra.

Meski dilarang menulis di surat kabar, pada tahun 1964, kau menjadi pimpinan umum Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia di jakarta. Puncak perjuanganmu di bidang keseniaan adalah berdirinya Taman Ismail Marzuki. Kau tercatat sebagai perintis utama.

Saat kau bekerja sebagai redaktur di majalah Gaya (1968), tepatnya di tanggal 19 Juni, atas jasamu merintis Taman Ismail Marzuki (TIM), Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Ali Sadikin, mempercayaimu sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus terpilih sebagai Ketua Badan Pengurus Harian, hingga ajal menjemputmu di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, 21April 1969, karena serangan jantung. Kau tak mewariskan selain rumah dinas di kompleks TIM kepada istri dan kedua anakmu.

Taufiq Ismail dalam “Catatan Kebudayaan” di majalah Horison Nomor 6 tahun ke-IV, Juni 1969 menulis: Kesenimanan Trisno Sumardjo di dalam bidang penulisan karya sastra, pelukis, atau seni rupa, penerjemahan, pemikir kebudayaan, dan pejuang kesenian Indonesia yang gigih bertahan dan keras hati, serta seorang pejuang yang getir dan sepi.

Namun, melalui kegigihan serta kegetiranmu, kau wariskan pada kami pusat kesenian TIM dan karya-karyamu yang salah satunya ada di atas meja kerjaku saat ini, Kata Hati dan Perbuatan (Balai Pustaka, 1952). Di ujung pembacaan buku tersebut, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang teramat kepada dirimu. Kerinduan seorang penulis muda kepada pejuang kesenian yang gigih dan getir.

Karinduan itu mengusik keinginanku untuk berburu karya-karyamu yang lain seperti Silhuet (Yayasan UNIK, 1952, kumpulan puisi), Rumah Raya (Pembangunan, 1957, kumcer), Daun Kering (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Penghuni Pohon (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Keranda Ibu (Balai Pustaka, 1963, kumcer), Wajah-Wajah yang Berubah (Balai Pustaka, 1968, kumcer), Cinta Teruna (Balai Pustaka, 1953, drama), Saudagar Venezia (Pembangunan, 1950, terjemaham karya Shakespears), Hamlet (Pembangunan, 1950, terjemaham karya Shakespears), Machbeth (Pembangunan, 1052, terjemaham karya Shakespears), Manasuka (Balai Pustaka, 1952, terjemaham karya Shakespears), Prahara (Balai Pustaka, 1952, terjemaham karya Shakespears), Impian di Tengah Musim (Balai Pustaka, 1953, terjemaham karya Shakespears), Dongeng-Dongeng Perumpamaan (Balai Pustaka, 1959, terjemahan karya Jean de La Fountain), Dokter Zhivago (Djambatan, 1960, terjemahan karya Boris Pasternak), Romeo dan Juliet (BMKN, 1955 cet.2 Oxford University Press, 1960, terjemaham karya Shakespears), Maut dan Misteri (Djambatan, 1969, terjemaham karya Edgar Allan Poe).

Daftar Bacaan

Sumardjo, Trisno. 1952. Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka

Jassin, H.B. 1953. Tifa Penjair dan Daerahnja. Jakarta: Gunung Agung

Dr. Suroso, M.Th dan Drs. Puji Santosa, M.Hum. 2009. Estetika Sastra, sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton Publishing

Rustapa, Anita K., Agus Sri danardani, Bambang Trisman. 1997. Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

(Drama Klasik) Tumbang

Oleh: Trisno Sumardjo

Pelaku-pelaku:

Seorang laki-laki, dan perempuan tua dan muda, seorang anak perempuan, dan dua tetangga LELAKI.

SUSUNAN PANGGUNG: Sebuah bilik bambu yang tua dan kotor. Pintu masuk hanya ada di sebelah kanan belakang, membuka pemandangan ke tanah tandus di luar. Seantero ruangan dilingkungi tiga dinding bambu yang atas dan kehitam-hitaman warnanya.

Sebelah kanan berdiri meja-makan beserta dua kursi, semuanya sudah rusak. Di atas meja ada piring, botol, kendi, pisau, dan sendok secara tidak teratur. Sebuah cangkir terletak tergelimpang pada sisinya:

Sebelah kiri tengah ada bale-bale, sudah tua juga, dengan bantal kotor dan selimut usang yang menggelebar ke bawah, sampai ujungnya menjentuh lantai.

Di dinding belakang tergantung tiga lukisan, tidak berpigura. Pada yang pertama tergambar alam benda, terdiri dari tengkorak besar dan buku-buku serta pot bunga. Pada yang kedua terlukis potret seorang laki-laki dengan muka yang menakutkan, berwarna hitam dan merah, dahsyat dan berkesehatan. Ia berpakaian baju semacam baju cina serta sarung pelekat, kelihatan sampai dekat ke bawah ikat pinggangnya. Yang ketiga menggambarkan seorang perempuan, kira-kira 27 tahun umurnya, layu sedikit, tapi masih ada kesan-kesannya bahwa pernah cantik rupanya. Di dinding kiri ada kaca kecil.

Hari senja. Udara dalam bilik taram-temaran; selanjutnya dipakai lampu sorot guna menerangi air muka pelaku-pelaku.

Waktu layar menyingsing, panggung nampak sepi sebentar. Orang dengar bunyi jengkerik atau serangga lainnya untuk memberi tekanan pada kesunyian di situ.

ADEGAN 1

(Masuk seorang laki-laki, kurang-lebih berusia 30 tahun. Wajahnya ada persamaannya dengan potret LELAKI di dinding, meskipun tidak sedahsyat dan seburuk itu air mukanya. Ia memakai baju dan celana panjang putih yang kumal lagi bertambal-tambal. Pada celananja setinggi lutut ada noda hitam. Di lehernya tergantung kain leher secara tak acuh. Ia berjanggut, mukanya pucat lesi, matanya kemerah-merahan, rambut tak tersisir dan lebih panjang dari semestinya. la tidak berdiri tegap atas kakinya dan jalannya agak terpapah-papah. Dengan tangannya ia menopang diri pada tepi rongga pintu, terus masuk dengan sikap lemah dan mata yang memandang liar ke sekeli­lingnya.)

LELAKI: (suaranya agak parau, sedih, tak tentu larasnya) Ini, ini rumahku? Dulu bagus, sekarang begini? (mengusap keningnya, seolah-olah ada yang diingatnya) O, ya dulu lain dari sekarang, sekarang lain dari kemudian! (ketawa kecil, suaranya tak mengenakkan) Dulu rumahku bagus, sekarang kandang anjing, dan aku di dalamnya, jadi aku anjing! Ha! Ha! Tapi banyak anjing juga yang tinggal di rumah bagus. Anjing berkaki dua. (berdjalan sampai ke muka kaca di dinding kiri) Ha, ini rupaku? Anjing liar, kotor dan buruk! (memandang ke lu­kisan potret laki-laki) Ha, itu aku juga! Itu jiwaku: merah, hitam, jelek! Hitam dan merah, warna kejelekan dan nafsu jahat. Ha, ha! Lahirku (kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana, lalu mengangguk ke kaca) dan batinku (mengha­dap lukisan) sama saja. Memang mesti begitu. Lahir dan batin seimbang. (mengusap-usap kaca di depannya, lalu mengangguk-­angguk pada bayangannya sendiri di dalamnja; senyum pahit) Kau temanku, ya? Temanku setia. Kautunjukkan padaku bagaimana aku sebenarnya. Kau tidak membujuk, tidak gila hormat seperti manusia, tidak memfitnah, tidak cemburu, tidak jahat. Ya, kau temanku bersahaja, kucinta kau! Ha, ha! (berpaling, meman­dang ke meja, ketawanya hilang, meraba-raba perutnya; sejurus matanya terbeliak) Lapar! Lapar! (terhuyung-huyung mendekati meja makan, tangannya bertelekan pada daun meja itu, pan­dangannya meliputi benda-benda di atasnya, suaranya hampir membisik) Tak ada apa-apa. Habis! (mengempaskan diri ke kursi, bertopang dagu, memandang dengan sedih) Perut berkokok, dan tak ada makanan…. Ha! Brendi! Brendi saja! (memegang botol, di bawanya ke mulut hendak minum isinya, tapi tak setetespun yang keluar) Kosong! Brendi juga tak ada! (mengentakkan botol ke­medja kembali) Semua-semua tak ada. Cuma wadakku saja yang ada. Wadak yang jelek ini, jahat... celaka...! Minta pinjam dari tetangga?—Ah tidak! Tetangga cuma dua, dan mereka miskin juga—O! lebih baik tidur. Supaya lupa! (berdiri, menudju kebaleh-baleh, kemudian termangu) Atau, mati saja? Ya, mati, mati! (berjalan ke pintu; hampir sampai ke sana, terce­nung lagi) Tidak! Tidur dan mati sama saja! Sama-sama tak sadar. Cuma mati lebih lama dari tidur. Bisa lupa lebih lama! (kembali kebaleh-baleh) Mati dan tidur sama! (berbaring, selimut ditutupkan atas tubuhnja, tidur)

ADEGAN 2

(Beberapa saat lamanya panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian masuk seorang perempuan tua renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk berjalan. Nam­pak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih, sewaktu ia berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke situ, ia ber­henti, sebentar mengamati air muka orang dibale-bale itu dengan iba hati, lalu menggeleng-gelengkan kepala)

ORANG TUA: Ia tidur. Tidurlah nyenyak! Kau yang banyak menderita, kau yang banyak musuhnya. Kau yang keras hati, anakku, mengasolah. Tubuhmu lelah, jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala), ah, begitu keras hatinya! Mengasolah, damai, damailah, Nak! (mengusap air matanya)

LELAKI: (bercakap dalam tidurnya) Ibu.... Ibu!

ORANG TUA: Mengasolah, Nak. Ibu pergi dulu.

LELAKI: (membuka matanya, duduk tegak, terkejut) Ibu!

ORANG TUA: Diamlah, dan tidurlah, Nak.

LELAKI: (menjingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya bertelut ke lantai, memegang tangan ibunya serta menciumnya) Ibu… di sini! Dari mana Ibu datang?

ORANG TUA: Kau tak tahu dari mana aku; berapa lamanya kita tidak bertemu? Kau ingat?

LELAKI: Delapan tahun, Bu.

ORANG TUA: Ya, syukur kau masih ingat pada ibumu. Nah, tempat­ tinggalku jauh dari sini, tidak di bumi, tidak di mana orang hidup biasa. Aku datang dari tempat Tuhan, anakku, tempat keramat.

LELAKI: Duh, Ibu! Maaflah, maafkan daku! (menengadah, meman­dang orang tua itu dengan mata berlinang-linang)

ORANG TUA: Ya, kau tak tahu bahwa aku sudah tak ada di dunia ini. Dari itu aku datang untuk mengatakan ini kepadamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang lain yang lebih kusayangi dari padamu.

LELAKI: (memegang dadanya, menundukkan kepalanya) Duh! Aku mendurhaka besar terhadap Ibu.

ORANG TUA: Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak.

LELAKI: Ayah!

ORANG TUA: Ya. Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu selalu bertengkar, kedua-duanya sama keras hatinya. Sama keras kepalanya. Kata-katanya yang penghabisan adalah untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia bahwa kau tak ada pada saatnya yang terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan bahwa ayahmu sakit keras?

LELAKI: (tersedu) Maaf, maaf, Bu!

ORANG TUA: Terlambat sesalanmu itu. Tak bisa diperbaiki lagi di dunia ini. (sejurus hening, terdengar sedu-sedan LELAKI)

ORANG TUA: Ya, ayahmu mau memaafkan kau, tapi kau tak ada. Restu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terembus lenyap oleh napasnya yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan mendengarnya. Dan bahkan kalau ia men­dengar, ia tak akan menjawab sehingga jawabannya tak terdengar olehmu. Terlambat, terlambat, Nak! Ah, orang muda sering terburu perbuatannya dan lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras itu? Mengapa per­kataan ibumu selalu kauabaikan?

LELAKI: Bawalah aku, Bu, bersama Ibu. (bernafsu) Ah, aku tak be­tah di bumi ini! (memegang tangan perempuan itu) Boleh aku ikut Bu?

ORANG TUA: Bukan akulah yang dapat memastikan itu. Yang Mahakuasa jugalah yang memutuskannya, bila waktumu sudah tiba.

LELAKI: Tapi ah, tak ada yang mengikat aku lagi di sini.Ayah dan Ibu tidak, dan istri pun telah meninggalkan daku. Ibu, kasihanilah anakmu!

ORANG TUA: Istrimu sudah kaucerai, bukan? Aku tahu. Kuawasi kau dari jauh. Tapi meskipun jauh jaraknya, kulihat perbuat­anmu dengan jelas.

LELAKI: O, kuingat ibu selalu! Memang kurasa ibu selalu didekatku. Tidak jauh jarak kita, Bu. Aku merasa, merasa itu sampai ke ­dasar sanubariku. Aku dekat tempat-tinggal Ibu; sudah kucium baunya yang harum. Dan kadang kurasa udara damai mengembus dari situ. Bukankah tempat itu damai dan harumraksi?

ORANG TUA: Betul, tapi tunggulah saatnya. Kehendak Allah ta’ala tak dapat diubah oleh manusia.

LELAKI: Dapatkah aku bertemu Ibu kelak?

ORANG TUA: Itupun belum tentu. Putusan tidak pada kita.

LELAKI: O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin ditempat lainnya? Di tempat yang ngeri, penuh api dan gelap, di mana orang-­orang durhaka mendapat hukuman yang dahsyat? Tidak begitu, o tidak, tidak! O, Ibu, katakan aku tak akan tiba di sana, bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaanku telah cukup di sini, Bu!

ORANG TUA: Itu tergantung padamu sendiri, anakku! Pada amal­ perbuatanmu sendiri. Dia yang melindungi kita semua itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada-Nya. Tawakallah, Nak.... Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan Ibu. Terimalah doa­ restuku. (meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki)

LELAKI: (terkedjut) O, tunggu, tunggu dulu! (dipegangnya tangan dan tongkat orang tua itu dengan tergopoh) Ah Ibu, Ibu! (panggung gelap)

ADEGAN 3

(Setelah lampu dijalakan lagi, nampak LELAKI masih bersikap se­seperti tadinya, yakni berlutut dan dengan kedua belah tanganya se­olah memegang sesuatu, tapi perempuan tua itu sudah tak ada lagi)

(Secepat kilat tubuhnya seakan tergurat oleh tenaga listrik, lalu ditariknyalah tangannya ke dada dan berdiri pelahan. Kepala me­nunduk)

LELAKI: Oh... Ibu! Duh! Dan belum kutanya di mana adanya Ayah di sana, di alam baka. Di mana beliau kutemui nanti, bila aku mati? Mestikah aku mencari Ayah sampai waktu tak ber­ujung, sampai abadi mencari dengan beban sesalan hati yang berat? O, sudah sepantasnya hukuman itu bagiku! Ragaku akan dimakan api. Jiwaku melarat-larat di tempat hangus dan keji sepanjang masa. Seperti awan tak ada tempat berhentinya. Aku akan jadi hantu! Jadi hantu buruk, ngeri, dan semua orang akan takut melihat aku, o semua makhluk mengutuk aku! O—hantu! (merebahkan diri dibale-bale, menelungkup, muka di­pendamnya dalam bantal, kaki masih di lantai. Bahunya tersentak­-sentak oleh sedu-sedannya)

(Sementara itu masuk ke dalam bilik seorang perempuan muda yang wajahnya serupa dengan gambar perempuan di dinding, yaitu agak layu, tapi masih kentara sisa-sisa kecantikannya yang dulu. Pakaiannya bagus juga, merah jambu, dengan warna yang me­nyolok mata. Ia memakai selendang yang merah serta menjinjing tas yang biasa dipakai oleh perempuan. Dihampirinya LELAKI yang masih menelungkup dan tidak melihatnya itu, lalu meletakkan tangan atas pundaknja.)

ADEGAN 4

PEREMPUAN: Mas! Mas!

LELAKI: (terkejut bangun, memandang kepada yung baru datang itu dengan mata yang berkunang-kunang) Kau... kau?

PEREMPUAN: Ya, Mas

LELAKI: (heran) Kau? Benar kau istriku?

PEREMPUAN: (mengangguk) Ya, Mas.

LELAKI: Bukan hantu?

PEREMPUAN: Hantu?

LELAKI: (bangkit, memegang bahu perempuan itu dan melepaskan­ya lagi) Tidak, tidak, kau bukan hantu. Cuma aku, aku saja!

PEREMPUAN: Apa maksudmu?

LELAKI: (kecewa kecil) Ah, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Dik.

PEREMPUAN: Kau tidak senang melihat aku?

LELAKI: Bukan begitu. Aku senang kau datang kemari. Mana tem­patmu?

PEREMPUAN: Tempatku jauh

LELAKI: Di... di sana? (menuding ke atas) Berapa kali bumi ini jauhnya?

PEREMPUAN: (tercengang) Mas! Omongmu tidak keruan!

LELAKI: Di neraka atau di sorga?

PEREMPUAN: (marah) Rupanya kau sudah menjadi gila! Neraka atau sorga, katamu? Di sorga tak mungkin. Sebab kaulah yang menghalang-halangi aku untuk pergi ke situ kelak. Kaulah yang menyeret aku ke neraka!

LELAKI: Benar... benar, Dik. (berjalan ke kursi, duduk, matanya nanar memandang ke satu jurusan)

PEREMPUAN: Bukankah salahmu melulu, bahwa penghidupan kita ibarat neraka? Sehingga aku lari dari padamu, setahun yang lalu?

LELAKI: (bertopang dagu, lemah) Ya, ya, Dik. Maaf, Maaflah.

PEREMPUAN: (lunak kembali) Mas, bukan maksudku untuk meng­ingatkan kau pada kesalahanmu. Datangku tidak untuk mem­balas dendam.

LELAKI: (mengangguk) ‘Ku tahu, Dik, ‘ku tahu baik hatimu. Se­muanya ini salahku. Penderitaan orang tuaku. Sengsaramu. Samua aku yang menyebabkannya. Aku penjudi, peminum, penjahat, duh! Cinta kasih orang tua dan cinta kasihmu, betapa aku mem­balasnya? Harta benda orang tua habis lenyap karena aku. Habis dengan judi dan minum. Kusakitkan hati ayahku, kusedihkan ibuku. Dan kau, Dik (memandang perempuan muda itu) betapa aku membalas kebaikanmu? Dengan malas, dengan minum bren­di berbotol-botol yang kubeli dengan uangmu! Kau yang selalu kerja keras, aku yang menghabiskan uangmu, aku yang menyajat hatimu, menjiksa jiwamu! Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: Biarlah, itu sudah lampau. Sekarang aku sudah bisa mendapat mata-pencaharianku sendiri. Tapi kau sendiri? (melihat disekitarnya) Kau kekurangan segalanya, Mas.

LELAKI: Hukumanku, Dik, biarlah. Ini sudah setimpal.

PEREMPUAN: Kalau mau, aku bisa menolong. (membuka tasnya)

LELAKI: Ah tidak, tidak! Terima kasih, Dik!

PEREMPUAN: Tak usah malu-malu, Mas. Kuberikan dengan rela hati.

LELAKI: Aku tahu, aku tahu! Tapi jangan, jangan kauberi apa-­apa. Ah, kalau kupikir bahwa kau mau menolong aku, kau yang kujerumuskan ke jurang kemiskinan dan kehinaan! Segala kesa­baranmu, kerelaan dan cintamu, kubalas dengan apa? Dengan muka masam, kekasaran, dan penghinaan. Ah, betapa sering kuhina kau, Dik? Betapa sering kulemparkan cacian ke mukamu, bahwa kau berasal dari kaum rendah, tak pantas bersama aku sebab aku orang bangsawan?—Bangsawan, ha, ha! Apa artinya turunan bangsawan, jika tidak diserta? kebangsawanan jiwa? O, orang yang buta tuli seperti aku ini! Picik dengan persangkaanku bahwa orang berbangsa lebih dari orang lain, mesti di atas orang biasa. Picik, pandir dan gila! Sedangkan kau, Dik, seribu kali kau lebih bangsawan dari pada aku!

PEREMPUAN: Sudahlah. Jangan kausiksa dirimu dengan sesalan saja. Sekarang kau sudah insaf. Tutuplah riwayat yang dulu-dulu.

LELAKI: Riwayat yang dulu masih berakibat sampai sekarang. Hanya kepahitan sajalah yang kauterima dari aku. Segala kenikmatan hidup sudah kurenggut, kuhela, kucuri dari padamu, Dik. Tak pernah ada yang kuberi padamu.... O! Keangkuhan darah bangsawan yang tak mau campur dengan darah murba, karena itu dianggapnya rendah, kotor. Tapi siapa yang kotor, Dik? Aku, aku sendiri! Dan kaulah yang murni! Meskipun karena kemiskinanmu engkau menjadi.... Dik, kau masih menjalankan pekerjaan yang... yang...?

PEREMPUAN: Ya, Mas, yang hina, yang sangat hina, katakan saja­lah. (air matanja berlinang-linang)

LELAKI: Aku yang salah, Dik! Cintamu yang murni itu bahkan mau kauberikan kepada aku yang kotor ini, tapi kuinjak-injak, kuhina, kurusak sehingga kau terpaksa pergi menjual cintamu.... Demi Allah—Allah yang tak pernah kusebut dulu, kini kusebut, Dik—(memegang tangan perempuan itu kedua-duanya dengan kedua belah tangannya, berlutut) demi Allah, ampunilah aku. Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: (air matanya meleleh) Cukup, cukuplah, Mas.

LELAKI: Kauampuni aku, Dik? Katakan...!

PEREMPUAN: Ya, ya, Mas; berdirilah.

LELAKI: Katakan! ‘Ku mau dengar perkataan maafmu.

PEREMPUAN: Kumaafkan engkau, Mas, sudahlah.

LELAKI: (berdiri)

PEREMPUAN: Keadaanmu mengkhawatirkan, Mas. Kau mesti mempu­nyai pegangan hidup. Kalau tidak, kau akan tumbang.

LELAKI: Tak sampai hatiku meminta kau kembali, Dik. Tak mung­kin. (menggelengkan kepala dengan sedih) Aku akan membuat hidupmu kedua kalinya menjadi neraka saja.

(Kedua-duanja berdiam diri sejurus)

LELAKI: Aku sudah tumbang, Dik. Seperti pohon di tepi jurang yang akar-akarnya sudah putus semua, kecuali satu. Yang satu itu... kesenianku, Dik (menunjuk kepala lukisan-lukisan didinding) Itulah! Hanya itulah yang baik, yang tinggal pada­ku. Cuma satu itu pegangan hidupku. Untuk itu Masih ada kemauanku untuk hidup. Kalau itu tak ada... (menggerakkan tangannya, tanda putus asa) Tapi berat, berat! Seni lukis baru saja mengembang. Orang banyak belum sampai mengertinya, be­lum sanggup menghargainya. Apalagi membeli lukisan yang dibi­kin secara ini. Tak memberi basil untuk bekal hidup, tapi malahan minta biaya: cat, kain, ah!

PEREMPUAN: Aku percaya pada kesenianmu, Mas. Tapi berat per­juanganmu itu! Gambarku itu? (menuding ke potret perempuan)

LELAKI: Ya, Dik, ya. Kugambar dari luar kepala.

PEREMPUAN: Dengan kesedihan di dalam hati dan sesalan dalam jiwamu! Dan itu (menuding potret lelaki) agaknya kausendiri?

LELAKI: Aku, ya. Dengan muka setan. Setan yang mengintai dari dalam batinku!

PEREMPUAN: Tapi sekarang setan itu sudah kaubasmi.

LELAKI: Dengan korban akar-akar dari pohon jiwaku yang tum­bang, ya!

PEREMPUAN: Tumbang, tumbang! Mengapa perkataanku kau­ulang-ulang? Tak mungkin kau bangkit kembali?

LELAKI: Tidak, Dik. Apa yang sudah terjadi karena dosa-dosaku itu tak dapat dipulihkan lagi. Sudah terlanjur.

PEREMPUAN: Allah Yang Maha Pemurah selalu ada untuk meng­ampuni segala dosa. Dengan bekerja dan perdjoangan batinmu kau akan dapat menebus dosamu. Kalau itu sudah terjadi, Mas, aku akan kembali padamu. Sekarang aku minta diri.

LELAKI: Kau pergi, Dik, pergi? Meninggalkan aku yang sebatang­kara ini?— Tapi, ya memang begitulah semestinya. Sekian saja­lah pertemuan kita.

PEREMPUAN: Ya, Mas, sekian saja.

LELAKI: (menjabat kedua belah tangan perempuan itu; dengan suara serak) Selamat jalan, Dik.

PEREMPUAN: Selamat tinggal, Mas. Kerja dan berjuanglah! (ce­pat berpaling muka dan keluar)

ADEGAN 5

LELAKI: (sebentar ia berdiri di muka pintu, mengawasi perginya perempuan itu, lalu berpaling) Ke mana ia pergi? Ke mana? Penghidupan ini teka-teki melulu. Bukankah aku juga teka-teki bagi diriku sendiri? Sesedih ini penghidupan, dan aku masih mau hidup! O, hidup sebatang kara, tak ada teman, tak ayah-bunda, tak ada istri, tak ada anak! Anak, ya! Persetan dengan kesombonganku! Kalau aku sombong, pasti aku sekarang mem­punyai anak. Anak yang mencintai aku. Lahir dari istri yang cinta padaku! Anak yang menggembirakan rumah tangga, yang menghibur hatiku.... (tiba-tiba melihat lukisan) Ha! Aku tidak sendirian! (memandang potret perempuan) Itu dia. Raganya saja yang pergi tadi. Jiwanya masih di situ. Jiwanya yang bersatu dengan jiwaku. Oh! (sekonyong-konyong tangannya yang kiri memegang keningnya, yang kanan ditekankan ke perut; ia terhuyung-­huyung, seakan-akan hendak rebah ke lantai; air mukanya menun­jukkan bahwa ia kesakitan) Dua hari tidak makan! (berjalan dengan payah ke meja, menopang diri dengan tangannya pada tepi meja itu dan melihat-lihat barang-barang di situ; suaranya mele­mah sampai hampir berbisik) Lapar! Lapar! Tak ada apa-apa! (duduk, kepalanya yang menunduk disembunyikan di belakang ke­dua tapak tangannya)

ADEGAN 6

(Masuk seorang anak perempuan, kira-kira berumur empat ta­hun. Ia mendekati laki-laki itu, menarik-narik bajunya)

ANAK: Pak! Pak!

LELAKI: (terkejut) He! Siapa?

ANAK: Pak! Bapak tidur? Jangan tidur, Pak!

(LELAKI memandang makhluk kecil itu dengan sangat tercengang. Mulutnya seolah kejang. Dengan gerak-geraknya yang lucu anak itu hendak naik ke lutut lelaki. Sambil gemetar dipegangnya anak dan ditolongnya naik ke pangkuannya)

ANAK: Bapak marah? Mengapa tidak omong, Pak?

LELAKI: Eh... kau dari mana, Nak?

ANAK: Atik dari Ibu!

LELAKI: Dari Ibu? Ibu di mana?

ANAK: (menuding keluar) Di sana... jauh! Jauuuh! (ketawa dengan riangnya)

LELAKI: (senyum) Jauh, Nak? Dan Atik mencari Bapak di sini?

ANAK: (ketawa) Sudah ketemu! Ini Bapak! (menarik janggut si laki-­laki) Ayo main-main, Pak!

LELAKI: Main apa, Tik?

ANAK: Main kereta api, Pak. Kereta api seperti itu. (menunjuk ke­luar)

LELAKI: Kereta api di luar itu? Atik tahu? O, ya. Bagus, ya, Tik?

ANAK: Bagus, Pak! Ayo main. (melihat botol) Ini, ini kepalanya. Hitam, Pak, keluar asapnya! Asap besar, Pak, dan hitam juga. Hitaaaamm! (ketawa dan bertepuk tangan)

LELAKI: Baik, Nak, ayo! (memasang botol, piring, dan kendi menjadi sekelompok) Ini kereta api, ya, Tik? Ini kepalanya. Ini badannya.

ANAK: Oooo, bukan badan, Pak! Ekornya!

LELAKI: Baik, ini ekornya, Tik.

ANAK: Oooo, jelek, Pak, tidak begitu!

LELAKI: Bagaimana, Tik?

ANAK: (kecewa) O, Bapak tidak bisa! Ibu pandai main-main.

LELAKI: (tak tahu apa yang hendak dikatakannya)

ANAK: Mana asapnya, Pak?

LELAKI: Eeeh... tak ada, Nak.

ANAK: Ngngng! Kereta api kok tak ada asapnya! Dan bunyinya, Pak?

LELAKI: Bunyinya? Ehh... dooot, dooot!

ANAK: Tidak! Begini: tuuuut, tuuuut. Begitu, loh Pak!

LELAKI: O, ya, lupa Bapak, ya? Tuuut!Tuuut!

ANAK: Ng-ng-ng, Bapak tidak pintar. Ibu bisa. Ibu pintar main-main dengan Atik!

LELAKI: Ya, ehh....

ANAK: Atik mau makan, Pak. Ayo makan, Pak!

LELAKI: (bingung) Makan?

ANAK: Atik lapar, Pak. Mari makan, ya?

LELAKI: Oh besok saja, ya, Tik?

ANAK: Sekarang, Pak!

LELAKI: (Kehilangan akal)

ANAK: Atik lapar sekarang, Pak.

LELAKI: Besok, ya, Tik, anak manis. Sekarang Bapak tidak punya ma­kanan.

ANAK: Ngngng—Ibu punya, Pak! (dengan suara menangis) Atik mau ke Ibu, Pak! (turun dari pangkuan laki-laki)

LELAKI: (berdiri) Jangan, Tik. Di sini saja, ya? Sama Bapak?

ANAK: Tidak! Bapak tak beri apa-apa. Bapak tak suka Atik. Bapak nakal! (keluar dengan berjengkek-jengkek) Ibu! Ibu!

LELAKI: Anakku!! (dengan sisa tenaganya hendak mengejar anak itu, tapi di muka pintu ia terenjak, tangan kiri bergerak ke keningnya, kemudian kedua tangannya ditekankan keperutnya dan ia rebah ke lantai)

ADEGAN 7

(Dari jauh kedengaran suling kereta api, lama dipekikkan, se­perti jerit manusia yang terdera. Disusul oleh gemuruh berdebuk, sayup-sayup pada mulanya, lalu agak keras.

Laki-laki yang tertiarap itu bangun, bangkit dengan susah pajah, akhirnja berdiri dengan terkapah-kapah. Napasnya naik-turun dengan hebatnya)

LELAKI: (suaranya hampir menjerit) Anakku! Atik! Kuambilkan kereta api, ya? Kuambil, nanti main sama Bapak, Tik! (lari keluar)

ADEGAN 8

(Dari belakang panggung bunyi kereta api lewat semakin keras gemuruhnya. Kemudian terdengar pekik dan teriak dari beberapa orang yang terkejut dan penuh ketakutan: ”He—ee!!”, ”Ya Allah”, ”Tolong, tolong!!”, ”Astagfirullah!!”.

Beberapa saat, masih kedengaran suara berdebuk-debuk itu, yang semakin kurang kerasnya. Kemudian sunyi.

Sebentar lagi nampak di pintu dua orang tetangga, berpakaian seperti orang miskin di kampung, sarung dan pici saja. Mereka kelihatan pucat karena terkejut dan terharu)

TETANGGA 1: Masya Allah!

TETANGGA 2: Ini rumahnya. Mari masuk.

(Mereka Masuk dalam bilik)

TETANGGA 1: Gila orang itu tadi? Masak, kereta api datang, lan­tas disambutnya di tengah-tengah rel. Seperti menyambut kekasih saja! Tumpesss!!

TETANGGA 2: Dan ia teriak-teriak apa tadi?

TETANGGA 1: Entah (menggelengkan kepala) Seperti: ”Anakku, anakku! ”, begitu.

TETANGGA 2: Memang orang gila! Tengok! (menunjuk lukisan-­lukisan) Gambar-gambar apa itu? Tengkorak dan setan melulu. Hu!! Itu teman-temannya rupanya.

TETANGGA 1: (melihat keliling) Tak ada apa-apa di sini. Kosong. Mari, kita pergi. Tutup saja! (mereka keluar)

Layar Turun

(Sumber: Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1952)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati