Oleh: Trisno Sumardjo

Pelaku-pelaku:

Seorang laki-laki, dan perempuan tua dan muda, seorang anak perempuan, dan dua tetangga LELAKI.

SUSUNAN PANGGUNG: Sebuah bilik bambu yang tua dan kotor. Pintu masuk hanya ada di sebelah kanan belakang, membuka pemandangan ke tanah tandus di luar. Seantero ruangan dilingkungi tiga dinding bambu yang atas dan kehitam-hitaman warnanya.

Sebelah kanan berdiri meja-makan beserta dua kursi, semuanya sudah rusak. Di atas meja ada piring, botol, kendi, pisau, dan sendok secara tidak teratur. Sebuah cangkir terletak tergelimpang pada sisinya:

Sebelah kiri tengah ada bale-bale, sudah tua juga, dengan bantal kotor dan selimut usang yang menggelebar ke bawah, sampai ujungnya menjentuh lantai.

Di dinding belakang tergantung tiga lukisan, tidak berpigura. Pada yang pertama tergambar alam benda, terdiri dari tengkorak besar dan buku-buku serta pot bunga. Pada yang kedua terlukis potret seorang laki-laki dengan muka yang menakutkan, berwarna hitam dan merah, dahsyat dan berkesehatan. Ia berpakaian baju semacam baju cina serta sarung pelekat, kelihatan sampai dekat ke bawah ikat pinggangnya. Yang ketiga menggambarkan seorang perempuan, kira-kira 27 tahun umurnya, layu sedikit, tapi masih ada kesan-kesannya bahwa pernah cantik rupanya. Di dinding kiri ada kaca kecil.

Hari senja. Udara dalam bilik taram-temaran; selanjutnya dipakai lampu sorot guna menerangi air muka pelaku-pelaku.

Waktu layar menyingsing, panggung nampak sepi sebentar. Orang dengar bunyi jengkerik atau serangga lainnya untuk memberi tekanan pada kesunyian di situ.

ADEGAN 1

(Masuk seorang laki-laki, kurang-lebih berusia 30 tahun. Wajahnya ada persamaannya dengan potret LELAKI di dinding, meskipun tidak sedahsyat dan seburuk itu air mukanya. Ia memakai baju dan celana panjang putih yang kumal lagi bertambal-tambal. Pada celananja setinggi lutut ada noda hitam. Di lehernya tergantung kain leher secara tak acuh. Ia berjanggut, mukanya pucat lesi, matanya kemerah-merahan, rambut tak tersisir dan lebih panjang dari semestinya. la tidak berdiri tegap atas kakinya dan jalannya agak terpapah-papah. Dengan tangannya ia menopang diri pada tepi rongga pintu, terus masuk dengan sikap lemah dan mata yang memandang liar ke sekeli­lingnya.)

LELAKI: (suaranya agak parau, sedih, tak tentu larasnya) Ini, ini rumahku? Dulu bagus, sekarang begini? (mengusap keningnya, seolah-olah ada yang diingatnya) O, ya dulu lain dari sekarang, sekarang lain dari kemudian! (ketawa kecil, suaranya tak mengenakkan) Dulu rumahku bagus, sekarang kandang anjing, dan aku di dalamnya, jadi aku anjing! Ha! Ha! Tapi banyak anjing juga yang tinggal di rumah bagus. Anjing berkaki dua. (berdjalan sampai ke muka kaca di dinding kiri) Ha, ini rupaku? Anjing liar, kotor dan buruk! (memandang ke lu­kisan potret laki-laki) Ha, itu aku juga! Itu jiwaku: merah, hitam, jelek! Hitam dan merah, warna kejelekan dan nafsu jahat. Ha, ha! Lahirku (kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana, lalu mengangguk ke kaca) dan batinku (mengha­dap lukisan) sama saja. Memang mesti begitu. Lahir dan batin seimbang. (mengusap-usap kaca di depannya, lalu mengangguk-­angguk pada bayangannya sendiri di dalamnja; senyum pahit) Kau temanku, ya? Temanku setia. Kautunjukkan padaku bagaimana aku sebenarnya. Kau tidak membujuk, tidak gila hormat seperti manusia, tidak memfitnah, tidak cemburu, tidak jahat. Ya, kau temanku bersahaja, kucinta kau! Ha, ha! (berpaling, meman­dang ke meja, ketawanya hilang, meraba-raba perutnya; sejurus matanya terbeliak) Lapar! Lapar! (terhuyung-huyung mendekati meja makan, tangannya bertelekan pada daun meja itu, pan­dangannya meliputi benda-benda di atasnya, suaranya hampir membisik) Tak ada apa-apa. Habis! (mengempaskan diri ke kursi, bertopang dagu, memandang dengan sedih) Perut berkokok, dan tak ada makanan…. Ha! Brendi! Brendi saja! (memegang botol, di bawanya ke mulut hendak minum isinya, tapi tak setetespun yang keluar) Kosong! Brendi juga tak ada! (mengentakkan botol ke­medja kembali) Semua-semua tak ada. Cuma wadakku saja yang ada. Wadak yang jelek ini, jahat... celaka...! Minta pinjam dari tetangga?—Ah tidak! Tetangga cuma dua, dan mereka miskin juga—O! lebih baik tidur. Supaya lupa! (berdiri, menudju kebaleh-baleh, kemudian termangu) Atau, mati saja? Ya, mati, mati! (berjalan ke pintu; hampir sampai ke sana, terce­nung lagi) Tidak! Tidur dan mati sama saja! Sama-sama tak sadar. Cuma mati lebih lama dari tidur. Bisa lupa lebih lama! (kembali kebaleh-baleh) Mati dan tidur sama! (berbaring, selimut ditutupkan atas tubuhnja, tidur)

ADEGAN 2

(Beberapa saat lamanya panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian masuk seorang perempuan tua renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk berjalan. Nam­pak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih, sewaktu ia berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke situ, ia ber­henti, sebentar mengamati air muka orang dibale-bale itu dengan iba hati, lalu menggeleng-gelengkan kepala)

ORANG TUA: Ia tidur. Tidurlah nyenyak! Kau yang banyak menderita, kau yang banyak musuhnya. Kau yang keras hati, anakku, mengasolah. Tubuhmu lelah, jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala), ah, begitu keras hatinya! Mengasolah, damai, damailah, Nak! (mengusap air matanya)

LELAKI: (bercakap dalam tidurnya) Ibu.... Ibu!

ORANG TUA: Mengasolah, Nak. Ibu pergi dulu.

LELAKI: (membuka matanya, duduk tegak, terkejut) Ibu!

ORANG TUA: Diamlah, dan tidurlah, Nak.

LELAKI: (menjingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya bertelut ke lantai, memegang tangan ibunya serta menciumnya) Ibu… di sini! Dari mana Ibu datang?

ORANG TUA: Kau tak tahu dari mana aku; berapa lamanya kita tidak bertemu? Kau ingat?

LELAKI: Delapan tahun, Bu.

ORANG TUA: Ya, syukur kau masih ingat pada ibumu. Nah, tempat­ tinggalku jauh dari sini, tidak di bumi, tidak di mana orang hidup biasa. Aku datang dari tempat Tuhan, anakku, tempat keramat.

LELAKI: Duh, Ibu! Maaflah, maafkan daku! (menengadah, meman­dang orang tua itu dengan mata berlinang-linang)

ORANG TUA: Ya, kau tak tahu bahwa aku sudah tak ada di dunia ini. Dari itu aku datang untuk mengatakan ini kepadamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang lain yang lebih kusayangi dari padamu.

LELAKI: (memegang dadanya, menundukkan kepalanya) Duh! Aku mendurhaka besar terhadap Ibu.

ORANG TUA: Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak.

LELAKI: Ayah!

ORANG TUA: Ya. Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu selalu bertengkar, kedua-duanya sama keras hatinya. Sama keras kepalanya. Kata-katanya yang penghabisan adalah untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia bahwa kau tak ada pada saatnya yang terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan bahwa ayahmu sakit keras?

LELAKI: (tersedu) Maaf, maaf, Bu!

ORANG TUA: Terlambat sesalanmu itu. Tak bisa diperbaiki lagi di dunia ini. (sejurus hening, terdengar sedu-sedan LELAKI)

ORANG TUA: Ya, ayahmu mau memaafkan kau, tapi kau tak ada. Restu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terembus lenyap oleh napasnya yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan mendengarnya. Dan bahkan kalau ia men­dengar, ia tak akan menjawab sehingga jawabannya tak terdengar olehmu. Terlambat, terlambat, Nak! Ah, orang muda sering terburu perbuatannya dan lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras itu? Mengapa per­kataan ibumu selalu kauabaikan?

LELAKI: Bawalah aku, Bu, bersama Ibu. (bernafsu) Ah, aku tak be­tah di bumi ini! (memegang tangan perempuan itu) Boleh aku ikut Bu?

ORANG TUA: Bukan akulah yang dapat memastikan itu. Yang Mahakuasa jugalah yang memutuskannya, bila waktumu sudah tiba.

LELAKI: Tapi ah, tak ada yang mengikat aku lagi di sini.Ayah dan Ibu tidak, dan istri pun telah meninggalkan daku. Ibu, kasihanilah anakmu!

ORANG TUA: Istrimu sudah kaucerai, bukan? Aku tahu. Kuawasi kau dari jauh. Tapi meskipun jauh jaraknya, kulihat perbuat­anmu dengan jelas.

LELAKI: O, kuingat ibu selalu! Memang kurasa ibu selalu didekatku. Tidak jauh jarak kita, Bu. Aku merasa, merasa itu sampai ke ­dasar sanubariku. Aku dekat tempat-tinggal Ibu; sudah kucium baunya yang harum. Dan kadang kurasa udara damai mengembus dari situ. Bukankah tempat itu damai dan harumraksi?

ORANG TUA: Betul, tapi tunggulah saatnya. Kehendak Allah ta’ala tak dapat diubah oleh manusia.

LELAKI: Dapatkah aku bertemu Ibu kelak?

ORANG TUA: Itupun belum tentu. Putusan tidak pada kita.

LELAKI: O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin ditempat lainnya? Di tempat yang ngeri, penuh api dan gelap, di mana orang-­orang durhaka mendapat hukuman yang dahsyat? Tidak begitu, o tidak, tidak! O, Ibu, katakan aku tak akan tiba di sana, bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaanku telah cukup di sini, Bu!

ORANG TUA: Itu tergantung padamu sendiri, anakku! Pada amal­ perbuatanmu sendiri. Dia yang melindungi kita semua itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada-Nya. Tawakallah, Nak.... Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan Ibu. Terimalah doa­ restuku. (meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki)

LELAKI: (terkedjut) O, tunggu, tunggu dulu! (dipegangnya tangan dan tongkat orang tua itu dengan tergopoh) Ah Ibu, Ibu! (panggung gelap)

ADEGAN 3

(Setelah lampu dijalakan lagi, nampak LELAKI masih bersikap se­seperti tadinya, yakni berlutut dan dengan kedua belah tanganya se­olah memegang sesuatu, tapi perempuan tua itu sudah tak ada lagi)

(Secepat kilat tubuhnya seakan tergurat oleh tenaga listrik, lalu ditariknyalah tangannya ke dada dan berdiri pelahan. Kepala me­nunduk)

LELAKI: Oh... Ibu! Duh! Dan belum kutanya di mana adanya Ayah di sana, di alam baka. Di mana beliau kutemui nanti, bila aku mati? Mestikah aku mencari Ayah sampai waktu tak ber­ujung, sampai abadi mencari dengan beban sesalan hati yang berat? O, sudah sepantasnya hukuman itu bagiku! Ragaku akan dimakan api. Jiwaku melarat-larat di tempat hangus dan keji sepanjang masa. Seperti awan tak ada tempat berhentinya. Aku akan jadi hantu! Jadi hantu buruk, ngeri, dan semua orang akan takut melihat aku, o semua makhluk mengutuk aku! O—hantu! (merebahkan diri dibale-bale, menelungkup, muka di­pendamnya dalam bantal, kaki masih di lantai. Bahunya tersentak­-sentak oleh sedu-sedannya)

(Sementara itu masuk ke dalam bilik seorang perempuan muda yang wajahnya serupa dengan gambar perempuan di dinding, yaitu agak layu, tapi masih kentara sisa-sisa kecantikannya yang dulu. Pakaiannya bagus juga, merah jambu, dengan warna yang me­nyolok mata. Ia memakai selendang yang merah serta menjinjing tas yang biasa dipakai oleh perempuan. Dihampirinya LELAKI yang masih menelungkup dan tidak melihatnya itu, lalu meletakkan tangan atas pundaknja.)

ADEGAN 4

PEREMPUAN: Mas! Mas!

LELAKI: (terkejut bangun, memandang kepada yung baru datang itu dengan mata yang berkunang-kunang) Kau... kau?

PEREMPUAN: Ya, Mas

LELAKI: (heran) Kau? Benar kau istriku?

PEREMPUAN: (mengangguk) Ya, Mas.

LELAKI: Bukan hantu?

PEREMPUAN: Hantu?

LELAKI: (bangkit, memegang bahu perempuan itu dan melepaskan­ya lagi) Tidak, tidak, kau bukan hantu. Cuma aku, aku saja!

PEREMPUAN: Apa maksudmu?

LELAKI: (kecewa kecil) Ah, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Dik.

PEREMPUAN: Kau tidak senang melihat aku?

LELAKI: Bukan begitu. Aku senang kau datang kemari. Mana tem­patmu?

PEREMPUAN: Tempatku jauh

LELAKI: Di... di sana? (menuding ke atas) Berapa kali bumi ini jauhnya?

PEREMPUAN: (tercengang) Mas! Omongmu tidak keruan!

LELAKI: Di neraka atau di sorga?

PEREMPUAN: (marah) Rupanya kau sudah menjadi gila! Neraka atau sorga, katamu? Di sorga tak mungkin. Sebab kaulah yang menghalang-halangi aku untuk pergi ke situ kelak. Kaulah yang menyeret aku ke neraka!

LELAKI: Benar... benar, Dik. (berjalan ke kursi, duduk, matanya nanar memandang ke satu jurusan)

PEREMPUAN: Bukankah salahmu melulu, bahwa penghidupan kita ibarat neraka? Sehingga aku lari dari padamu, setahun yang lalu?

LELAKI: (bertopang dagu, lemah) Ya, ya, Dik. Maaf, Maaflah.

PEREMPUAN: (lunak kembali) Mas, bukan maksudku untuk meng­ingatkan kau pada kesalahanmu. Datangku tidak untuk mem­balas dendam.

LELAKI: (mengangguk) ‘Ku tahu, Dik, ‘ku tahu baik hatimu. Se­muanya ini salahku. Penderitaan orang tuaku. Sengsaramu. Samua aku yang menyebabkannya. Aku penjudi, peminum, penjahat, duh! Cinta kasih orang tua dan cinta kasihmu, betapa aku mem­balasnya? Harta benda orang tua habis lenyap karena aku. Habis dengan judi dan minum. Kusakitkan hati ayahku, kusedihkan ibuku. Dan kau, Dik (memandang perempuan muda itu) betapa aku membalas kebaikanmu? Dengan malas, dengan minum bren­di berbotol-botol yang kubeli dengan uangmu! Kau yang selalu kerja keras, aku yang menghabiskan uangmu, aku yang menyajat hatimu, menjiksa jiwamu! Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: Biarlah, itu sudah lampau. Sekarang aku sudah bisa mendapat mata-pencaharianku sendiri. Tapi kau sendiri? (melihat disekitarnya) Kau kekurangan segalanya, Mas.

LELAKI: Hukumanku, Dik, biarlah. Ini sudah setimpal.

PEREMPUAN: Kalau mau, aku bisa menolong. (membuka tasnya)

LELAKI: Ah tidak, tidak! Terima kasih, Dik!

PEREMPUAN: Tak usah malu-malu, Mas. Kuberikan dengan rela hati.

LELAKI: Aku tahu, aku tahu! Tapi jangan, jangan kauberi apa-­apa. Ah, kalau kupikir bahwa kau mau menolong aku, kau yang kujerumuskan ke jurang kemiskinan dan kehinaan! Segala kesa­baranmu, kerelaan dan cintamu, kubalas dengan apa? Dengan muka masam, kekasaran, dan penghinaan. Ah, betapa sering kuhina kau, Dik? Betapa sering kulemparkan cacian ke mukamu, bahwa kau berasal dari kaum rendah, tak pantas bersama aku sebab aku orang bangsawan?—Bangsawan, ha, ha! Apa artinya turunan bangsawan, jika tidak diserta? kebangsawanan jiwa? O, orang yang buta tuli seperti aku ini! Picik dengan persangkaanku bahwa orang berbangsa lebih dari orang lain, mesti di atas orang biasa. Picik, pandir dan gila! Sedangkan kau, Dik, seribu kali kau lebih bangsawan dari pada aku!

PEREMPUAN: Sudahlah. Jangan kausiksa dirimu dengan sesalan saja. Sekarang kau sudah insaf. Tutuplah riwayat yang dulu-dulu.

LELAKI: Riwayat yang dulu masih berakibat sampai sekarang. Hanya kepahitan sajalah yang kauterima dari aku. Segala kenikmatan hidup sudah kurenggut, kuhela, kucuri dari padamu, Dik. Tak pernah ada yang kuberi padamu.... O! Keangkuhan darah bangsawan yang tak mau campur dengan darah murba, karena itu dianggapnya rendah, kotor. Tapi siapa yang kotor, Dik? Aku, aku sendiri! Dan kaulah yang murni! Meskipun karena kemiskinanmu engkau menjadi.... Dik, kau masih menjalankan pekerjaan yang... yang...?

PEREMPUAN: Ya, Mas, yang hina, yang sangat hina, katakan saja­lah. (air matanja berlinang-linang)

LELAKI: Aku yang salah, Dik! Cintamu yang murni itu bahkan mau kauberikan kepada aku yang kotor ini, tapi kuinjak-injak, kuhina, kurusak sehingga kau terpaksa pergi menjual cintamu.... Demi Allah—Allah yang tak pernah kusebut dulu, kini kusebut, Dik—(memegang tangan perempuan itu kedua-duanya dengan kedua belah tangannya, berlutut) demi Allah, ampunilah aku. Maaf, maaf, Dik!

PEREMPUAN: (air matanya meleleh) Cukup, cukuplah, Mas.

LELAKI: Kauampuni aku, Dik? Katakan...!

PEREMPUAN: Ya, ya, Mas; berdirilah.

LELAKI: Katakan! ‘Ku mau dengar perkataan maafmu.

PEREMPUAN: Kumaafkan engkau, Mas, sudahlah.

LELAKI: (berdiri)

PEREMPUAN: Keadaanmu mengkhawatirkan, Mas. Kau mesti mempu­nyai pegangan hidup. Kalau tidak, kau akan tumbang.

LELAKI: Tak sampai hatiku meminta kau kembali, Dik. Tak mung­kin. (menggelengkan kepala dengan sedih) Aku akan membuat hidupmu kedua kalinya menjadi neraka saja.

(Kedua-duanja berdiam diri sejurus)

LELAKI: Aku sudah tumbang, Dik. Seperti pohon di tepi jurang yang akar-akarnya sudah putus semua, kecuali satu. Yang satu itu... kesenianku, Dik (menunjuk kepala lukisan-lukisan didinding) Itulah! Hanya itulah yang baik, yang tinggal pada­ku. Cuma satu itu pegangan hidupku. Untuk itu Masih ada kemauanku untuk hidup. Kalau itu tak ada... (menggerakkan tangannya, tanda putus asa) Tapi berat, berat! Seni lukis baru saja mengembang. Orang banyak belum sampai mengertinya, be­lum sanggup menghargainya. Apalagi membeli lukisan yang dibi­kin secara ini. Tak memberi basil untuk bekal hidup, tapi malahan minta biaya: cat, kain, ah!

PEREMPUAN: Aku percaya pada kesenianmu, Mas. Tapi berat per­juanganmu itu! Gambarku itu? (menuding ke potret perempuan)

LELAKI: Ya, Dik, ya. Kugambar dari luar kepala.

PEREMPUAN: Dengan kesedihan di dalam hati dan sesalan dalam jiwamu! Dan itu (menuding potret lelaki) agaknya kausendiri?

LELAKI: Aku, ya. Dengan muka setan. Setan yang mengintai dari dalam batinku!

PEREMPUAN: Tapi sekarang setan itu sudah kaubasmi.

LELAKI: Dengan korban akar-akar dari pohon jiwaku yang tum­bang, ya!

PEREMPUAN: Tumbang, tumbang! Mengapa perkataanku kau­ulang-ulang? Tak mungkin kau bangkit kembali?

LELAKI: Tidak, Dik. Apa yang sudah terjadi karena dosa-dosaku itu tak dapat dipulihkan lagi. Sudah terlanjur.

PEREMPUAN: Allah Yang Maha Pemurah selalu ada untuk meng­ampuni segala dosa. Dengan bekerja dan perdjoangan batinmu kau akan dapat menebus dosamu. Kalau itu sudah terjadi, Mas, aku akan kembali padamu. Sekarang aku minta diri.

LELAKI: Kau pergi, Dik, pergi? Meninggalkan aku yang sebatang­kara ini?— Tapi, ya memang begitulah semestinya. Sekian saja­lah pertemuan kita.

PEREMPUAN: Ya, Mas, sekian saja.

LELAKI: (menjabat kedua belah tangan perempuan itu; dengan suara serak) Selamat jalan, Dik.

PEREMPUAN: Selamat tinggal, Mas. Kerja dan berjuanglah! (ce­pat berpaling muka dan keluar)

ADEGAN 5

LELAKI: (sebentar ia berdiri di muka pintu, mengawasi perginya perempuan itu, lalu berpaling) Ke mana ia pergi? Ke mana? Penghidupan ini teka-teki melulu. Bukankah aku juga teka-teki bagi diriku sendiri? Sesedih ini penghidupan, dan aku masih mau hidup! O, hidup sebatang kara, tak ada teman, tak ayah-bunda, tak ada istri, tak ada anak! Anak, ya! Persetan dengan kesombonganku! Kalau aku sombong, pasti aku sekarang mem­punyai anak. Anak yang mencintai aku. Lahir dari istri yang cinta padaku! Anak yang menggembirakan rumah tangga, yang menghibur hatiku.... (tiba-tiba melihat lukisan) Ha! Aku tidak sendirian! (memandang potret perempuan) Itu dia. Raganya saja yang pergi tadi. Jiwanya masih di situ. Jiwanya yang bersatu dengan jiwaku. Oh! (sekonyong-konyong tangannya yang kiri memegang keningnya, yang kanan ditekankan ke perut; ia terhuyung-­huyung, seakan-akan hendak rebah ke lantai; air mukanya menun­jukkan bahwa ia kesakitan) Dua hari tidak makan! (berjalan dengan payah ke meja, menopang diri dengan tangannya pada tepi meja itu dan melihat-lihat barang-barang di situ; suaranya mele­mah sampai hampir berbisik) Lapar! Lapar! Tak ada apa-apa! (duduk, kepalanya yang menunduk disembunyikan di belakang ke­dua tapak tangannya)

ADEGAN 6

(Masuk seorang anak perempuan, kira-kira berumur empat ta­hun. Ia mendekati laki-laki itu, menarik-narik bajunya)

ANAK: Pak! Pak!

LELAKI: (terkejut) He! Siapa?

ANAK: Pak! Bapak tidur? Jangan tidur, Pak!

(LELAKI memandang makhluk kecil itu dengan sangat tercengang. Mulutnya seolah kejang. Dengan gerak-geraknya yang lucu anak itu hendak naik ke lutut lelaki. Sambil gemetar dipegangnya anak dan ditolongnya naik ke pangkuannya)

ANAK: Bapak marah? Mengapa tidak omong, Pak?

LELAKI: Eh... kau dari mana, Nak?

ANAK: Atik dari Ibu!

LELAKI: Dari Ibu? Ibu di mana?

ANAK: (menuding keluar) Di sana... jauh! Jauuuh! (ketawa dengan riangnya)

LELAKI: (senyum) Jauh, Nak? Dan Atik mencari Bapak di sini?

ANAK: (ketawa) Sudah ketemu! Ini Bapak! (menarik janggut si laki-­laki) Ayo main-main, Pak!

LELAKI: Main apa, Tik?

ANAK: Main kereta api, Pak. Kereta api seperti itu. (menunjuk ke­luar)

LELAKI: Kereta api di luar itu? Atik tahu? O, ya. Bagus, ya, Tik?

ANAK: Bagus, Pak! Ayo main. (melihat botol) Ini, ini kepalanya. Hitam, Pak, keluar asapnya! Asap besar, Pak, dan hitam juga. Hitaaaamm! (ketawa dan bertepuk tangan)

LELAKI: Baik, Nak, ayo! (memasang botol, piring, dan kendi menjadi sekelompok) Ini kereta api, ya, Tik? Ini kepalanya. Ini badannya.

ANAK: Oooo, bukan badan, Pak! Ekornya!

LELAKI: Baik, ini ekornya, Tik.

ANAK: Oooo, jelek, Pak, tidak begitu!

LELAKI: Bagaimana, Tik?

ANAK: (kecewa) O, Bapak tidak bisa! Ibu pandai main-main.

LELAKI: (tak tahu apa yang hendak dikatakannya)

ANAK: Mana asapnya, Pak?

LELAKI: Eeeh... tak ada, Nak.

ANAK: Ngngng! Kereta api kok tak ada asapnya! Dan bunyinya, Pak?

LELAKI: Bunyinya? Ehh... dooot, dooot!

ANAK: Tidak! Begini: tuuuut, tuuuut. Begitu, loh Pak!

LELAKI: O, ya, lupa Bapak, ya? Tuuut!Tuuut!

ANAK: Ng-ng-ng, Bapak tidak pintar. Ibu bisa. Ibu pintar main-main dengan Atik!

LELAKI: Ya, ehh....

ANAK: Atik mau makan, Pak. Ayo makan, Pak!

LELAKI: (bingung) Makan?

ANAK: Atik lapar, Pak. Mari makan, ya?

LELAKI: Oh besok saja, ya, Tik?

ANAK: Sekarang, Pak!

LELAKI: (Kehilangan akal)

ANAK: Atik lapar sekarang, Pak.

LELAKI: Besok, ya, Tik, anak manis. Sekarang Bapak tidak punya ma­kanan.

ANAK: Ngngng—Ibu punya, Pak! (dengan suara menangis) Atik mau ke Ibu, Pak! (turun dari pangkuan laki-laki)

LELAKI: (berdiri) Jangan, Tik. Di sini saja, ya? Sama Bapak?

ANAK: Tidak! Bapak tak beri apa-apa. Bapak tak suka Atik. Bapak nakal! (keluar dengan berjengkek-jengkek) Ibu! Ibu!

LELAKI: Anakku!! (dengan sisa tenaganya hendak mengejar anak itu, tapi di muka pintu ia terenjak, tangan kiri bergerak ke keningnya, kemudian kedua tangannya ditekankan keperutnya dan ia rebah ke lantai)

ADEGAN 7

(Dari jauh kedengaran suling kereta api, lama dipekikkan, se­perti jerit manusia yang terdera. Disusul oleh gemuruh berdebuk, sayup-sayup pada mulanya, lalu agak keras.

Laki-laki yang tertiarap itu bangun, bangkit dengan susah pajah, akhirnja berdiri dengan terkapah-kapah. Napasnya naik-turun dengan hebatnya)

LELAKI: (suaranya hampir menjerit) Anakku! Atik! Kuambilkan kereta api, ya? Kuambil, nanti main sama Bapak, Tik! (lari keluar)

ADEGAN 8

(Dari belakang panggung bunyi kereta api lewat semakin keras gemuruhnya. Kemudian terdengar pekik dan teriak dari beberapa orang yang terkejut dan penuh ketakutan: ”He—ee!!”, ”Ya Allah”, ”Tolong, tolong!!”, ”Astagfirullah!!”.

Beberapa saat, masih kedengaran suara berdebuk-debuk itu, yang semakin kurang kerasnya. Kemudian sunyi.

Sebentar lagi nampak di pintu dua orang tetangga, berpakaian seperti orang miskin di kampung, sarung dan pici saja. Mereka kelihatan pucat karena terkejut dan terharu)

TETANGGA 1: Masya Allah!

TETANGGA 2: Ini rumahnya. Mari masuk.

(Mereka Masuk dalam bilik)

TETANGGA 1: Gila orang itu tadi? Masak, kereta api datang, lan­tas disambutnya di tengah-tengah rel. Seperti menyambut kekasih saja! Tumpesss!!

TETANGGA 2: Dan ia teriak-teriak apa tadi?

TETANGGA 1: Entah (menggelengkan kepala) Seperti: ”Anakku, anakku! ”, begitu.

TETANGGA 2: Memang orang gila! Tengok! (menunjuk lukisan-­lukisan) Gambar-gambar apa itu? Tengkorak dan setan melulu. Hu!! Itu teman-temannya rupanya.

TETANGGA 1: (melihat keliling) Tak ada apa-apa di sini. Kosong. Mari, kita pergi. Tutup saja! (mereka keluar)

Layar Turun

(Sumber: Kata Hati dan Perbuatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1952)

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati