Karya: Rijono Pratikno

PENYAIR
selagi pulang di malam larut menuju pondoknya, tiada kuat lagi menahan keletihannya. Untunglah waktu itu, ia sudah tiba di suatu taman dan di dalam taman itu terdapat beberapa buah bangku yang bisa menampungnya duduk, kemudian tiduran.

Dari tiduran, ia pun makin sayup-sayup oleh kantuknya, sedan­gkan dingin udara malam larut tidak dihiraukannya. Jauh di atasnya di antara daunan pepohonan, berkilau bulan penuh yang sudah tinggi. Sebentar-sebentar bulan penuh itu disaputi awan.

Penyair perasaannya bergetar memandang bulan. Sebentar itu segala kesukaran-kesukaran hidupnya yang begitu pahit hilang le­nyap, dan ia makin senyum memandangnya. Tangannya berganti-ganti menjadi bantal bagi kepalanya, dan pandangnya bertambah gairah.

Waktu ia berada antara tidur dan jaga, maka betapa terkejutnya ia waktu dilihatnya, bulan makin mendekat jua padanya.

Dan tiba-tiba begitu dekat bulan itu, seolah-olah ia bisa meraih­nya.

Dan bulan itu jatuh di atas pangkuannya, hingga teranglah seke­lilingnya. Ia menjadi silau sebentar dan tak habis-habisnya ia bertanya-tanya pada diri akan kebenaran apa yang dilihanya.

Baru sesaat lamanya ia tahu benar-benar bahwa bulan ada di pangkuannya. Dan dengan gembiranya, bulan itu diangkatnya, serta berniat dibawa pulang. Ia mau menyimpannya untuk diri sendiri.

Tapi sebentar itu, ia ingat juga pada kawan-kawanya lain yang sependeritaan dengannya. Karena itu, niatan untuk membawa pulang sendiri, tidak jadi dilakukannya.

Kawan-kawanya di seluruh kota dicarinya. Diketuknya pada masing-masing pintu rumah mereka. Mereka bangun dengan me­maki-maki, karena tengah malam buta ada yang membangunkan. Ada pula yang tidak dijumpai di pondok mereka, melainkan tidur berselimut udara malam, karena mereka telah diusir dari pondok mereka.

Setelah mereka kumpul semua, maka beramai-ramailah mereka. Penyair yang mendapat bulan, sekali lagi menegaskan maksudnya hendak membagi-bagi bulan yang telah jatuh padanya itu.

Maka mereka membentuk sebuah lingkaran, dan bulan itu ditaruh di tengah-tengah lingkaran itu. Kemudian, bulan pun dipotong­-potonglah dengan adilnya dan sama rata. Setelah pemotongan ini selesai, maka potongan-potongan yang sama besar itu pun dibagi­-bagilah.

Bagaimana gembira mereka, tiadalah dapat dilukiskan. Mereka pun bubarlah menuju jalan mereka masing-masing setelah bersorak sekali lagi bersama-sama.

Di tengah jalan, potongan bulan yang masih tetap bersinar itu berubahlah menjadi gadis yang secantik-cantiknya. Penyair belum pernah dalam hidupnya merasakan kenikmatan sebagai malam itu. Penyair itu pun bertanyalah:

“Apakah semua saudara-saudara potongan-potongan bulan tadi, juga berubah semuanya menjadi gadis cantik?”

Gadis itu mengangguk mengiakan serta katanya:

“Malam ini kami hendak menghibur penyair-penyair.”

Sepanjang malam itu, mereka berpasang-pasangan mengisi malam. Dan dalam hiburannya itu, gadis cantik mengajak Penyair ke suatu tempat yang becek di daerah kali yang baru meluapkan airnya. “Mengapa kita mesti duduk di sini? Sedangkan tempat-tempat yang indah masih banyak lagi lainnya,” tanya Penyair.

Bulan dengan wajahnya yang menggoda menjawab:

Benar-benarkah kau tidak lagi menemui keindahan di sini?”

Penyair menggelengkan kepalanya.

“Tahukah engkau apa sebabnya? Karena bulan malam ini tidak ada. Bulan malam ini turun ke bumi, dan karena itu tidak kaudapati bayangnya mengaca di kali serta tanah-tanah becek ini. Karena itulah hilang pandangan keindahanmu terhadapnya.

Dan kali itu pun keluarlah bau-bauan yang tak sedap untuk dihirup, dan perlahan-lahan si Penyair mulai melihat dengan terang, segala kekotoranya yang dikandung dalam kebecekan serta kali itu. Ia tiada marah pada gadis cantik di sampingnya oleh penunjukan tempat yang sebobrok itu, malahan ia berterima kasih sepenuh hati, karena telah membuka pikiran-pikiran baru.

Waktu hampir mendekati waktu subuh, gadis cantik tiba-tiba mengajak si Penyair pulang kembali ke taman.

Mendengar ini si Penyair menaruhkan curiganya, tetapi karena ajakannya ini begitu kuat, ia pun mengabulkannya juga.

Sesampainya di sana, sudah didapatinya semua kawan-kawannya bersama-sama dengan gadis-gadis cantik mereka. Mereka lagi ramai mengobrol dan bersorak-sorai.

Mereka saling berceritera segala pengalaman mereka yang baru saja mereka alami, serta mereka memuji pemberian ilham-ilham dan gadis-gadis itu.

Setiap dari mereka telah memperoleh pikiran-pikiran baru oleh pergaulan mereka dengan gadis-gadis bulan itu.

Dan sewaktu matahari kembali hendak lahir, tiba-tiba gadis-gadis itu semuanya meloloskan diri dari penyair-penyair, dan bersatu kembali.

Penyair dan kawan-kawannya mencoba untuk menahan mereka, tetapi mereka telah kembali menjadi satu bulan, yang bulat indah dan bercahaya.

Dan perlahan-lahan, bulan itu pun kembali terbang ke langit luas, diikuti oleh pandang Penyair dan kawan-kawannya.

Sumber: Majalah Prosa, No. 3 th. 1. September 1955

Rijono Pratikno dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, 27 Agustus 1932. Karya-karyanya antara lain: Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951), Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1958).

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati